Penempatan TNI di Jabatan Sipil, Langkah Mundur Agenda Reformasi

ANTARA FOTO/Setpres/Agus Suparto
Wacana penempatan perwira aktif TNI pada jabatan sipil di kementerian/lembaga dikhawatirkan menghidupkan kembali dwifungsi TNI, seperti di masa Orde Baru.
Penulis: Dimas Jarot Bayu
1/3/2019, 15.31 WIB

Wacana penempatan perwira aktif Tentara Nasional Indonesia (TNI) di jabatan sipil pada kementerian dan lembaga dinilai sebagai langkah mundur sekaligus pengkhianatan terhadap agenda reformasi. Pasalnya, wacana tersebut dinilai akan mengembalikan dwifungsi TNI sebagaimana di masa Orde Baru.

Peneliti LIPI Syamsudin Haris menilai, wacana tersebut bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Dalam Pasal 10 UU Pertahanan Negara disebutkan bahwa TNI merupakan alat pertahanan negara.

Karenanya, tugas TNI adalah mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. Tugas TNI bukanlah untuk menduduki jabatan di kementerian/lembaga.

Selain itu, Syamsudin menilai wacana tersebut juga bertentangan dengan Pasal 47 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Dalam pasal tersebut dijelaskan, prajurit hanya dapt menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif.

Ada pun, prajurit aktif hanya dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, dan Intelijen Negara. Kemudian, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Badan Narkotika Nasional (BNN), dan Mahkamah Agung (MA).

"Saya kira ini mesti dihentikan, sebab ini melanggar UU TNI," kata Syamsudin di Sekretariat Komnas HAM, Jakarta, Jumat (1/3).

Syamsudin menilai, adanya penumpukan perwira dalam jumlah besar tidak patut dibebankan kepada kementerian/lembaga. Penumpukan perwira tersebut terjadi karena kegagalan perencanaan, reorganisasi, dan manajerial TNI pasca-Orde Baru.

Hal senada juga disampaikan oleh Komisioner Komnas HAM Choirul Anam. Dia beranggapan masalah ini terjadi lantaran peta jalan reformasi TNI belum berjalan secara optimal.

Alhasil, TNI lebih memilih jalur pragmatis untuk menyelesaikan masalah penumpukan perwira, yakni dengan mewacanakan penempatan di kementerian/lembaga. "Visi reformasi TNI itu tidak ada. Pragmatisme lebih dipilih daripada yang lain," kata Choirul. Karenanya, reformasi TNI menjadi agenda penting yang harus didorong agar masalah ini dapat diatasi.

(Baca: Jokowi Restrukturisasi TNI, Moeldoko: Bukan untuk Kembalikan Dwifungsi)

Membatasi Rekrutmen

Direktur Imparsial Al-Araf mengatakan, reformasi TNI ini dapat dilakukan dengan reorganisasi struktural. TNI harus memperkuat struktur dengan memperhatikan kondisi saat ini yang lebih cenderung ke arah perang siber. Di sisi lain, TNI harus mengurangi jumlah pasukan yang tidak relevan dan tidak efektif.

TNI juga dinilai perlu membatasi rekrutmen melalui sekolah-sekolah militer yang ada. Dengan demikian, tidak terjadi lagi penumpukan perwira TNI. "Di Indonesia, kita harus mendorong reorganisasi, bukan ke arah penempatan sipil," kata Al-Araf.

Gubernur Lemhannas Agus Widjojo mengatakan, solusi lain yang bisa diterapkan adalah dengan memberikan insentif bagi perwira aktif TNI yang ingin pensiun dini. Menurut Agus, para perwira yang pensiun dini dapat diberikan tempat baru untuk bekerja. "Bisa di BUMN, pemerintahan, swasta, korporasi, politik, karena sudah tidak anggota TNI. Idealnya begitu," kata Agus.

(Baca: Restrukturisasi, Jokowi Sebut Ada 60 Jabatan Baru di TNI)

Reporter: Dimas Jarot Bayu