Wiranto: Soal Baasyir, Presiden Tak Mau Buru-buru Ambil Keputusan

ANTARA FOTO/Suwandy
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mengatakan, pemerintah akan mengkaji secara mendalam rencana pembebasan Abu Bakar Baasyir.
21/1/2019, 20.46 WIB

Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta jajarannya untuk mengkaji secara mendalam rencana pembebasan Abu Bakar Baasyir. Dengan kajian ini, pemerintah berharap keputusan yang diambil nantinya tidak menimbulkan keributan di masyarakat.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto mengatakan Presiden Jokowi tidak ingin terburu-buru untuk mengambil keputusan lantaran banyak aspek yang perlu dipertimbangkan. Beberapa di antaranya adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Pancasila, dan hukum.

"Presiden bilang tidak boleh grusa-grusu (terburu-buru) dan serta-merta mengambil keputusan," kata Wiranto dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Senin (21/1) malam.

Hal ini lantaran ada banyak informasi yang berseliweran terkait rencana pembebasan terpidana kasus terorisme ini. Oleh sebab itu, Wiranto merasa perlu memberikan keterangan bahwa pemerintah mengkaji rencana ini dengan seksama. "Ini penjelasan resmi pemerintah," kata dia.

Dia juga mengakui, keluarga Baasyir telah mengajukan permintaan bebas sejak 2017 lalu. Alasannya, kondisi kesehatan dan usia pemimpin Jamaah Islamiyah tersebut sudah lanjut. Berdasarkan itu, akhirnya Jokowi mempertimbangkan permintaan bebas. "Atas dasar kemanusiaan maka Presiden memahami permintaan keluarga tersebut," kata Wiranto.

Rencana pembebasan Abu Bakar Baasyir terkendala dua persyaratan yang belum disetujui oleh terpidana kasus terorisme tersebut. Kedua prasyarat yang dimaksud adalah pernyataan untuk setia kepada NKRI dan Pancasila, serta mengakui dan menyesali tindakan pidana yang dilakukan.

(Baca: Tim Pengacara: Pembebasan Abu Bakar Baasyir Jangan Dipolitisasi)

Ketua Pembina Tim Pengacara Muslim (TPM) Mahendradatta mengatakan, soal setia pada Pancasila dan NKRI, Baasyir beralasan belum ada argumentasi yang memuaskan mantan pimpinan Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki tersebut. Penasihat hukum Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Yusril Ihza Mahendra, sempat membujuk Baasyir dengan mengatakan Islam dan Pancasila tidak bertentangan. Namun, Baasyir tetap berkukuh dengan pendapatnya. Sedangkan untuk poin penyesalan, Baasyir tidak mau mengakuinya. "Biarpun beliau dipenjara, namun tidak mau mengakui pidana," kata Mahendradatta.

Rencana ini menuai pro dan kontra. Perdana Menteri Australia Scott Morrison menghubungi pemerintah Indonesia untuk memprotes rencana pembebasan Baasyir ini. "Posisi Australia dalam persoalan ini tidak berubah. Kami selalu menyampaikan keberatan paling mendalam," kata Morrison seperti dikutip Reuters, Senin (21/1).

Keberatan Australia ini dilatarbelakangi peristiwa Bom Bali pada 2002 yang menewaskan 88 orang warga negara Australia. "Kami menjadi mitra ketika menyangkut pemberantasan terorisme dan ekstremisme agama, dan kami akan terus melanjutkan itu. Kami akan terus terlibat dengan pemerintah Indonesia dalam persoalan yang sangat sensitif ini," kata Morrison.

Pada Maret 2018, Kementerian Luar Negeri Australia menyebut Baasyir sebagai dalang di balik peristiwa Bom Bali. Oleh karena itu, pemerintah Australia berharap keadilan ditegakkan hingga ke level maksimal yang dimungkinkan oleh aturan hukum di Indonesia.

(Baca: Baasyir Tolak Dua Syarat Kebebasan: Setia Pancasila dan Akui Kesalahan)

Reporter: Ameidyo Daud Nasution