Harga minyak Brent tahun ini diperkirakan akan meningkat dibandingkan tahun lalu. Peningkatan ini dilatarbelakangi oleh sejumlah faktor, salah satunya alasan geopolitik.

Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Berly Martawardaya mengatakan harga minyak  berpeluang  menguat jika ketegangan hubungan Amerika dengan Korea Utara dan Iran meningkat di tahun ini. Iran dan Korea Utara tengah bernasib sama karena menghadapi embargo ekonomi oleh Amerika akibat program nuklir yang dilakukan keduanya. 

(Baca: Prospek Hulu Migas 2019: Asa dari Tren Positif Harga Minyak & Regulasi)

Jika tegangan terus berlanjut, maka dapat memicu kenaikan harga minyak. Ia memprediksi harga Brent tahun ini bisa berada dikisaran US$ 65 hingga 75 per barel.  Prediksi ini lebih tinggi jika dibandingkan rata-rata harga minyak brent sepanjang 2018 yang mencapai US$ 73,06 per barel.

Selain hal itu, kesepakatan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) untuk memangkas produksi tahun ini,  juga diprediksi bakal memberi sentimen lain yang dapat memicu peningkatan harga minyak. Sebagaimana diketahui, OPEC dan sekutunya sebelumnya telah sepakat untuk mengurangi produksi 1,2 juta barel per hari (bph) dari Januari 2019. Pemangkasan produksi tersebut bertujuan untuk menyeimbangkan pasar.

Meski demikian,  peluang peningkatan harga minya juga belum sepenuhnya dipastikan, sebab ada faktor geopolitik lain yang bisa berdampak sebaliknya.  Seperti faktor geopolitik perang Dagang Amerika Serikat dan Tiongkok, yang jika kondisi itu terus berlanjut akan menekan pertumbuhan dan permintaan minyak.

"Ketidakpastiannya tinggi khususnya karena perang dagang, Sehingga saya proyeksi luas rangenya (harga minyak) antara US$ 65-75 per barel," kata dia kepada Katadata.co.id, Rabu (2/1).

Halaman:
Reporter: Anggita Rezki Amelia