Wacana pembuatan uang braille dari Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dianggap tak mampu mengatasi persoalan yang dihadapi para penyandang disabilitas. Pendiri Lembaga Advokasi Inklusi Disabilitas (Audisi) Yustitia Arif menilai uang braille berpotensi membuat para penyandang semakin terkucil.
Karenanya, rencana tersebut dinilai tidak memiliki semangat inklusivitas atau kesetaraan. “Kalau mencetak uang braille, kita menjadi ekslusif,” kata Yustitia di Posko Cemara, Jakarta, Rabu (21/11).
Keberpihakan terhadap para penyandang disabilitas tidak bisa diterapkan melalui pembuatan uang braille. Seharusnya, menurut Yustitia, keberpihakan dilakukan dengan mendorong edukasi kepada masyarakat bahwa penyandang disabilitas merupakan bagian dari keberagaman.
Langkah tersebut sebenarnya telah dilakukan di pemerintahan Joko Widodo dengan penerbitan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Disabilitas. Aturan ini dinilai lebih baik dibandingkan ketentuan sebelumnya yakni UU Nomor 4 Tahun 1997.
Sebab, aturan teranyar memiliki perspektif yang lebih ramah hak asasi manusia, sementara UU Nomor 4 Tahun 1997 berorientasi medis. “Ini bukti bahwa concern beliau ada,” kata Yustitia. (Baca juga: Pasar Tradisional, Pertempuran Jokowi-Sandiaga di Pemilih Segmen Bawah).
Namun aturan itu dirasa tak cukup. Implementasi UU Nomor 8 Tahun 2016 belum optimal. Contohnya, meski kebijakan itu sudah memberikan kuota lapangan pekerjaan bagi disabilitas di pemerintahan maupun swasta, syarat lowongan kerja masih cenderung diskriminatif. Misalnya, syarat tersebut meminta para pelamar kerja sehat jasmani dan rohani.
Masyarakat pun masih banyak menilai infrastruktur berupa akses terhadap penyandang disabiitas tidak begitu diperlukan. Padahal, infrastruktur itu penting untuk membantu para penyandang disabilitas untuk bisa berkegiatan.
Lebih lanjut, akses tersebut dapat berguna bagi masyarakat secara umum ketika mereka tertimpa kecelakaan. “Misalnya keseleo, adanya akses lift bisa sangat berguna,” kata dia. (Baca pula: Saling Serang, Ini Beda Gaya Komunikasi Politik Jokowi dan Prabowo).
Karenanya, pemerintah Jokowi saat ini tengah menggodok delapan rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sebagai turunan dari UU Nomor 8 Tahun 2016. RPP ini melibatkan delapan kementerian sehingga dapat mendorong inklusivitas lebih luas bagi para penyandang disabilitas.
Staf Ahli Kantor Staf Presiden (KSP) Kedeputian Urusan Politik, Hukum, Pertahanan, Keamanan, dan HAM Strategis Sunarman Sukamto mengatakan, delapan RPP ini akan segera difinalisasi dengan uji publik dalam waktu dekat. “RPP kami harapkan bisa diteken jokowi akhir tahun ini,” kata Sunarman.
Sebelumnya, wacana pembuatan uang braille disampaikan Direktur Komunikasi dan Media Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Hashim Djojohadikusumo. Menurut dia, rencana itu merupakan aspirasi dari kalangan tunanetra yang banyak bekerja di panti pijat.
Mereka kerap kali ditipu lantaran tak mengetahui nominal uang yang diterima usai memijat dengan memberikan uang yang nominalnya tak sesuai dengan tarif. “Itu ide saya untuk bikin mata uang braille,” kata Hashim.