Gaya komunikasi politik kandidat calon presiden dalam Pilpres 2019 akan menjadi poin penting dalam menggaet pemilih. Gaya ini dapat mempengaruhi pesan-pesan yang dibawa oleh para calon untuk menarik perhatian publik.
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute Gun Gun Heryanto mengatakan dua kontestan -Joko Widodo dan Prabowo Subianto- memiliki gaya komunikasi politik yang berbeda. Jokowi dinilai memiliki gaya komunikasi politik equalitarian. Sementara Prabowo lebih dinamis.
Menurut Gun Gun, gaya equalitarian Jokowi mengutamakan kesetaraan antara komunikator dan komunikan. Jokowi sangat jarang menggunakan diksi-diksi yang tinggi dan sulit dimengerti untuk bisa mengelola kekuatan dari berbagai kelompok. “Kerap kali membingkai pesan untuk harmoni,” kata Gun Gun di Populi Center, Jakarta, Kamis (15/11).
Gaya komunikasi politik Jokowi ini membuat kampanye menyerangnya sangat implisit. Jokowi tak terang-terangan dalam mengkritik lawan politiknya. Ini dapat dilihat dari ucapan politisi sontoloyo dan politik genderuwo. (Baca: Genderuwo–Tampang Boyolali, Perang Diksi Capres Berebut Hati Publik).
Politisi sontoloyo terlontar dari mulut Jokowi ketika pembagian sertifikat tanah kepada warga Kebayoran Lama di Jakarta Selatan, Selasa (22/10). Jokowi menyebut politisi sontoloyo kerap mepmengaruhi masyarakat dengan isu-isu yang tak jelas.
Atau pula ucapan politik genderuwo yang muncul ketika Jokowi mengunjungi Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Jumat (9/11). Dia menggunakan istilah tersebut untuk menunjukkan ada politisi yang menggunakan gaya menakut-nakuti masyarakat.
Dari kedua pernyataannya tersebut, Jokowi sama sekali tidak menyebut secara jelas siapa politisi sontoloyo maupun orang yang menggunakan politik genderuwo. Hal ini lantas membuat publik menggunakan imajinasinya untuk menafsirkan ucapan tersebut. “Jokowi tidak lugas mengkritik siapa. Itu membuat orang-orang menduga sehingga diskursus publik bisa jalan,” kata Gun Gun.
Dia menilai gaya komunikasi politik Jokowi sebenarnya memiliki kesamaan dengan calon wakil presiden pendamping Prabowo, Sandiaga Uno. Sebab, Sandiaga juga memiliki kemampuan merangkul berbagai kelompok melalui komunikasinya yang cair.
(Baca: Tampang Boyolali Menyeret Prabowo ke Bawaslu).
Sementara itu, gaya komunikasi politik Prabowo lebih dinamis, yang biasanya lebih lugas dalam menyampaikan pesan politiknya. Ini terlihat dalam berbagai pidato Prabowo selama kampanye yang kerap mengkritik secara terang-terangan kepada pemerintahan. Di sini tetap ada risiko karena pesan dapat dimaknai secara berbeda oleh khalayak.
Gun Gun mencontohkan polemik tampang Boyolali dari pernyataan Prabowo. Di sini, Prabowo dinilai berusaha menyampaikan ketimpangan sosial yang terjadi di masyarakat. Hanya saja, publik justru menilai pernyataan Prabowo tersebut menghina dan bersifat peyoratif. “Sehingga makna tidak lagi homogen, tapi polisemik,” kata Gun Gun.