Hingga Pekan Keempat, Pertamina Masih Belum Optimal Salurkan B20

Arief Kamaludin | Katadata
Penulis: Michael Reily
Editor: Ekarina
27/9/2018, 20.03 WIB

Empat minggu berjalan, program mandatori biodiesel 20% untuk bahan bakar minyak jenis solar (B20) belum juga bisa diimplementasikan secara optimal. PT Pertamina (Persero), saat ini disebut sebagai satu-satunya perusahaan yang belum optimal menyalurkan  B20 ke sejumlah kawasan karena masih terkendala mendapat pasokan bahan bakar nabati. 

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Djoko Siswanto menyatakan dari 11 Badan Usaha Bahan Bakar Minyak (BBM), 10 di antaranya sudah merealisasikan penyaluran B20.

"Sudah tidak ada lagi badan usaha bahan bakar minyak yang menjual B0 selain Pertamina," kata Djoko di Jakarta, Kamis (27/9).

(Baca : Pertamina Usul Penyalur Minyak Sawit Hanya Satu Badan Usaha)

Pertamina saat ini  disebut masih memiliki kendala dalam memperoleh penyaluran Fatty Acid Methyl Esters (FAME) atau bahan baku nabati B20 dari produsen. Karenanya, pemerintah menyelidiki hambatan yang terjadi dalam mekanisme distribusi FAME ke Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM).

Jika tim pemantauan menemukan kesalahan pada perusahaan penyedia FAME dalam kegagalan penyaluran,  Djoko menegaskan pemerintah bisa segera mengenakan sanksi Rp 6 ribu per liter atau sebaliknya. "Kalau itu terbukti, kami akan denda," ujarnya.

Direktur Logistik, Supply Chain, dan Infrastruktur Pertamina Gandhi Sriwidodo menyatakan Pertamina akan bekerja sama dengan penyedia FAME untuk menyukseskan program pemerintah. Salah satu solusinya yakni dengan menyesuaikan pasokan FAME pada 1 lokasi untuk menghemat biaya pengangkutan.

(Baca: Pemerintah Tetapkan Sanksi Penyaluran B20 Mulai Pekan Ini)

Meski begitu, dia menjelaskan badan usaha bahan bakar nabati harus melakukan pengiriman ke TBBM milik Pertamina. "TBBM kami siap untuk melakukan pencampuran dan penyaluran B20," kata Gandhi.

Dia pun menyebut, berdasarkan evaluasi selama empat pekan program B20 berjalan masih memiliki sejumlah hambatan. Namun, menurutnya sudah ada beberapa kemajuan dan Pertamina berupaya melakukan perbaikan.

Dari data yang dipaparkan Pertamina di Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), selama 1 September sampai 25 September 2018, penyaluran B20 belum maksimal seiring terlambatnya suplai FAME.

Beberapa daerah yang belum menerima pasokan minyak sawit rata-rata di Indonesia Timur. Di antaranya, Terminal BBM Tanjung Uban, Bau-Bau, Wayame, Manggis, Tanjung Wangi, Kupang, Makassar, Bitung, STS Balikpapan, dan STS Kotabaru terlambat.

Selama periode tersebut, hanya 224.607 kiloliter (KL) FAME yang terealisasi. Ini baru 62% dari pasokan FAME yang dipesan Pertamina dari badan usaha sebesar 431.681 KL untuk periode September.

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (Aprobi) Master Parulian Tumanggor menyatakan semua pihak sudah melakukan persiapan penyaluran untuk bulan Oktober.  Sedangkan untuk  perhitungan kasus per kasus masih dibahas dalam rapat.

"Hampir tidak ada masalah," ujar Tumanggor.

Berikut 11 badan usaha bahan bakar minyak dan kebutuhan FAME:

PT Pertamina (persero), 595.168 kiloliter
PT AKR Corporindo Tbk, 120.800 kiloliter
PT Exxonmobil Lubricants Indonesia, 73.050 kiloliter
PT Jasatama Petroindo, 26.400 kiloliter
PT Petro Andalan Nusantara, 60.000 kiloliter
PT Shell Indonesia, 21.040 kiloliter
PT Cosmic Indonesia, 1.640 kiloliter
PT Cosmic Petroleum Nusantara, 4.309 kiloliter
PT Energi Coal Prima, 26.400 kiloliter
PT Petro Energy, 1.600 kiloliter
PT Gasemas, 10.000 kiloliter

Tertera juga 19 badan usaha bahan bakar nabati dan kewajiban produksi FAME:

PT Cemerlang Energi Perkasa: 55.397 kiloliter
PT Wilmar Bioenergi Indonesia: 131.768 kiloliter
PT Pelita Agung Agrindustri: 18.466 kiloliter
PT Ciliandra Perkasa: 23.081 kiloliter
PT Darmex Biofuels: 23.081 kiloliter
PT Musim Mas: 108.946 kiloliter
PT Wilmar Nabati Indonesia: 136.867 kiloliter
PT Bayas Biofuels: 69.245 kiloliter
PT SMART Tbk: 35.384 kiloliter
PT Tunas Baru Lampung: 32.314 kiloliter
PT Multi Nabati Sulawesi: 39.106 kiloliter
PT Permata Hijau Palm Oleo: 33.515 kiloliter
PT Intibenua Perkasatama: 35.546 kiloliter
PT Batara Elok Semesta Terpadu: 23.081 kiloliter
PT Dabi Biofuels: 33.238 kiloliter
PT Sinarmas Bio Energy: 36.580 kiloliter
PT Kutai Refinery Nusantara: 33.700 kiloliter
PT Sukajadi Sawit Mekar: 32.314 kiloliter
PT LDC Indonesia: 38.778 kiloliter

Reporter: Michael Reily