Kebijakan Fiskal, Pemerintah Berhati-hati Hadapi Ketidakpastian Global

ANTARA FOTO/Rosa Panggabean
Editor: Arsip
21/9/2018, 08.00 WIB

Meskipun perekonomian global diyakini akan terus membaik pada semester kedua 2018, sejumlah tantangan masih membayangi. Dalam ketidakpastian tersebut, pemerintah berusaha untuk melakukan penguatan fundamental dan stabilitas ekonomi.

Ketegangan perdagangan di antara negara-negara maju menjadi salah satu tantangan selama masa pemulihan perekonomian pada semester kedua. Selain itu, normalisasi kebijakan moneter Amerika Serikat membawa risiko penguatan dolar, yang juga akan berdampak pada perekonomian di seluruh dunia.

Adapun, pengendalian inflasi dan percepatan penyelesaian infrastruktur akan menjadi fokus pemerintah. Dua hal tersebut akan menjadi faktor penting untuk menjaga tingkat konsumsi masyarakat dan investasi demi terus mendorong tumbuhnya perekonomian.

“Kami (pemerintah) menjaga fiskal, tapi tetap berhati-hati karena dalam ketidakpastian ini, APBN harus menjadi instrumen untuk menjaga perekonomian melalui stabilisasi maupun alokasi dan distribusi agar tetap dinamis,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat mengikuti Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR, di Jakarta, Senin lalu (10/9).

Sri Mulyani menyebutkan stabilitas ekonomi nasional masih tetap terjaga. Masih terdapat cukup ruang untuk mencapai target inflasi, meskipun terjadi tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Respons terhadap kondisi global perlu digunakan untuk memengaruhi defisit transaksi berjalan dan nilai tukar rupiah. Salah satu kebijakan yang ditempuh antara lain penyesuaian Pajak Penghasilan Pasal (PPh) 22, terhadap barang konsumsi impor untuk mendorong penggunaan barang produksi dalam negeri.

Lebih lanjut, kinerja fiskal sampai dengan 31 Agustus 2018 melanjutkan tren positif, baik di sisi pendapatan negara, belanja negara, maupun defisit dan pembiayaan anggaran. Pendapatan negara tumbuh lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya, yang diikuti juga perbaikan percepatan penyerapan anggaran belanja negara.

Hal ini memengaruhi defisit anggaran yang terjaga dengan nilai terendah di lima tahun terakhir dalam periode yang sama, sedangkan keseimbangan primer berada pada titik positif dan merupakan pertama kali sejak tahun 2015 dalam periode yang sama.

Hingga 31 Agustus 2018, realisasi penerimaan pendapatan negara dan hibah bertumbuh 18,44% yang mencapai Rp 1.152,83 triliun atau 60,84% dari targetnya dalam APBN 2018 atau, lebih baik dibandingkan realisasi pendapatan negara tahun 2017 yang mencapai Rp 973,38 triliun atau 56,07% dari targetnya.

Penerimaan yang berasal dari perpajakan sebesar Rp 907,54 triliun, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 240,29 triliun, dan penerimaan dari hibah sebesar Rp 4,99 triliun, atau masing-masing mencapai 56,09%, 87,24%, dan 417,01% dari target penerimaan yang ditetapkan pada APBN 2018.

Laju realisasi penerimaan perpajakan ditopang oleh penerimaan pajak dengan capaian Rp 799,46 triliun atau 56,14% dari target APBN 2018 serta penerimaan bea dan cukai yang mencapai Rp 108,08 triliun atau 55,68% dari target.

Pertumbuhan realisasi penerimaan pajak didukung oleh kinerja positif dari penerimaan PPh non migas, PPh migas, serta penerimaan PPN dan PPnBM. Faktor yang ikut mendorong pertumbuhan pajak impor salah satunya adalah pertumbuhan yang cukup signifikan terjadi pada PPh Pasal 22 Impor dan PPN Impor. Hal itu disebabkan karena pengaruh depresiasi rupiah terhadap dolar AS.

Adapun faktor pendukung pertumbuhan penerimaan kepabeanan dan cukai diantaranya yaitu aktivitas perdagangan internasional yang masih kondusif. Selain itu, keberlanjutan kebijakan kepabeanan dan cukai melalui program Penertiban Impor Berisiko Tinggi (PIBT) dan Penertiban Cukai Berisiko Tinggi (PCBT).

Di sisi lain, pertumbuhan realisasi PNBP juga menunjukkan nilai yang sangat positif sebesar 24,30% dibanding periode yang sama pada tahun lalu, dengan membukukan nilai realisasi sebesar Rp 240,29 triliun atau 87,24% dari target APBN tahun 2018.

Peningkatan ini terutama disebabkan meningkatnya penerimaan sumber daya alam karena masih berlanjutnya kenaikan harga komoditas minyak bumi dan batu bara sepanjang periode Januari-Agustus 2018.

Dari segi pembiayaan, realisasi pembiayaan yang dilakukan pemerintah hingga Agustus 2018 mencapai Rp 265,64 triliun, terutama bersumber dari pembiayaan utang yaitu sebesar Rp 274,33 triliun, atau mencapai 68,72% dari APBN 2018.

Realisasi pembiayaan utang tersebut terdiri atas penerbitan SBN (neto) sebesar Rp 270,47 triliun atau mencapai 65,25% dari APBN 2018 dan pinjaman (neto) sebesar Rp 3,86 triliun.

“Pemerintah akan terus berkomitmen untuk senantiasa melakukan pengelolaan utang yang prudent,” kata Sri Mulyani.

Sementara itu, realisasi belanja negara sampai akhir Agustus 2018 sebesar Rp 1.303,49 triliun, mencapai sekitar 58,70% dari pagu APBN, atau meningkat 8,78% jika dibandingkan realisasi pada periode yang sama tahun sebelumnya. Realisasi belanja negara tersebut meliputi Belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp802,17 triliun dan Transfer ke Daerah dan Dana Desa sebesar Rp501,32 triliun.

Realisasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) sampai dengan Agustus 2018 telah mencapai Rp 501,32 triliun atau 65,43% dari pagu APBN 2018, yang meliputi Transfer ke Daerah (TKD) sebesar Rp 465,07 triliun (65,85%) dan Dana Desa Rp 36,25 triliun (60,41%).

Adapun, realisasi defisit APBN hingga Agustus 2018 mencapai Rp 150,66 triliun atau sekitar 1,01% PDB. Realisasi defisit tersebut lebih rendah dari realisasi defisit pada periode yang sama 2017 sebesar 1,65% terhadap PDB atau sebesar Rp 224,89 triliun.

Reporter: Tim Riset dan Publikasi