Paham radikalisme yang kerap menyebarkan intoleransi dalam beragama dan bernegara sudah menyebar ke sejumlah lembaga pendidikan tinggi. Karena itu, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Bambang Soesatyo mendorong intelijen dari kepolisian dan Badan Intelijen Negara (BIN) masuk kampus untuk mengantisipasi penyebaran paham radikalisme tersebut.
Menurut Bambang, sudah banyak hasil penelitian yang menyatakan bahwa paham radikalisme sudah masuk ke institusi pendidikan. Salah satunya berasal dari Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta pada 2017.
(Baca juga: Imam Besar Al-Azhar dan Jokowi Kampanyekan Islam yang Penuh Toleransi).
Untuk itu, Bambang mendorong Komisi III DPR yang membidangi keamanan melakukan pendalaman dengan Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian untuk menggerakkan intelijennya. “Saya juga akan dorong Komisi I (terkait pertahanan dan intelijen) menggerakan BIN menyebar ke kampus, apakah informasi itu benar adanya atau hanya isapan jempol,” kata Bambang di Jakarta, Senin (11/6).
Penelitian bertajuk “Enhancing the Role of Religious Education in Countering Violent Extremism in Indonesia” yang dibuat PPIM UIN Jakarta itu menjelaskan fenomena paham keagamaan ekslusif dan cenderung radikal masuk ke dunia pendidikan. Para penganut pandangan ini berusaha menjadikan akademisi, termasuk di mahasiswa, dosen, dan pegawai, menjadi target utama.
(Baca pula: Jadi Alat Penyebaran Radikalisme, Telegram Diblokir Kominfo).
Selain itu, terdapat pula data dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang menyebut ada tujuh kampus ternama terpapar ideologi ekstrem. Ketujuh kampus tersebut, yakni Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Universitas Diponegoro (Undip). Selebihnya yaitu Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Universitas Airlangga (Unair), dan Universitas Brawijaya (UB).
Terkait usulan tersebut, Rektor terpilih Universitas Brawijaya (UB) Nuhfil Hanani mengaku tak masalah jika intelijen masuk ke kampusnya untuk memantau pergerakan paham radikalisme.
Dia hanya menegaskan agar keberadaan intelijen di kampus tak boleh terdeteksi untuk menhindari gaduh. “Tidak apa asal sembunyi-sembunyi,” kata Nuhfil.
Hal senada disampaikan Rektor Institut Pertanian Bogor Arif Satria. Dia mempersilakan intelijen menyisir kampus untuk menjalankan fungsinya menjaga keamanan negara. (Baca juga: Menristek Dikti Minta Kampus Dibersihkan dari HTI).
Walau demikian, Arif menyatakan masuknya intelijen ke kampus perlu disesuaikan dengan aturan di lingkungan tersebut. Hal ini agar tindakan intelijen tak menjadi masalah di kampus. “Kalau sesuai aturan main memungkinkan, ya silakan,” ujar Arif.
Sebelumnya, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir meminta berbagai universitas memutuskan hubungan dengan pihak-pihak yang berafilisasi dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Alasannya, pemerintah telah menetapkan HTI sebagai organisasi terlarang di Indonesia.
Saat ini, Nasir meminta jajarannya memverifikasi berbagai pihak di universitas yang diduga berafiliasi dengan HTI. Tindakan ini dilakukan setelah Kemenristekdikti mendapatkan data dari BNPT yang menyebut ada tujuh kampus ternama terpapar ideologi ekstrem. “Saya sudah koordinasi untuk minta siapa saja yang terlibat di dalamnya,” kata Nasir di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis pekan lalu.