Eks Kepala BPPN Pertanyakan Status Hukum Dorodjatun & Sjamsul Nursalim

ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Terdakwa kasus korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Syafruddin Arsyad Temenggung (kiri) di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (21/5).
Penulis: Ihya Ulum Aldin
Editor: Yuliawati
21/5/2018, 21.17 WIB

Tim kuasa hukum mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temengggung mempertanyakan status hukum mantan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Dorodjatun Kuntjoro Jakti, pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim serta istrinya, Itjih S Nursalim.

Ketiganya disebut dalam dakwaan bersama-sama melakukan korupsi bersama Syafruddin dalam penerbitan surat keterangan lunas (SKL) utang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada BDNI dengan kerugian negara sebesar Rp 4,58 triliun.

"Namun dalam dakwaan yang menjadi terdakwa hanyalah Syafrudin, sedangkan Dorojatun dan yang lainnya tidak dijadikan terdakwa maupun sebagai tersangka. Seharusnya dalam perbuatan penyertaan (medeplegen) para pelaku diajukan sekaligus," kata kuasa hukum Yusril Ihza Mahendra saat membacakan eksepsi atau nota pembelaan Syafruddin yang disampaikan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Senin (21/5).

(Baca juga: Sjamsul dan Dorodjatun Ada dalam Dakwaan Kasus BLBI Eks Kepala BPPN)

Yusril juga menyoroti dalam dakwaan yang sama, jaksa KPK menyebutkan Syafruddin bersama Dorodjatun memperkaya Sjamsul Nursalim. Dia mempertanyakan mana yang benar antara pertama, keempat pihak bersama-sama melakukan korupsi dan kedua, Syafruddin dan Dorodjatun yang melakukan korupsi bersama-sama untuk memperkaya Sjamsul.

"Hal ini kontradiksi, saling meniadakan satu sama yang lain," kata Yusril yang menyebut dakwaan penuntut umum tidak tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap.

Yusril juga mempersoalkan dakwaan terkait rangkaian kasus BLBI kepada BDNI yang terjadi sejak 1998, namun jaksa penuntut umum KPK menuduhkan perbuatan kepada Syafruddin. Padahal Syafruddin baru menjabat sebagai Ketua BPPN pada tanggal 22 April 2002.

Dia pun menganggap jaksa telah salah menempatkan posisi Syafruddin saat menjabat Sekretaris KKSK seakan-akan mempunyai posisi dominan yang dapat mengatur dan mengarahkan para menteri yang menjadi anggota KKSK.

"Melecehkan posisi dan jabatan para menteri yang merupakan anggota KKSK, yang notabene juga atasan dari terdakwa," kata Yusril.

(Baca juga:  Mantan Ketua BPPN Sebut Audit BPK Soal BLBI Saling Bertentangan)

Menurutnya, sekretaris KKSK tidak memiliki hak untuk mengusulkan sesuatu kepada rapat KKSK sebagaimana yang telah didakwa oleh jaksa. Selain itu, surat dakwaan yang menempatkan Syafruddin selaku sekretaris KKSK sangat powerfull dan dapat mengarahkan para menteri yang merupakan anggota KKSK sangat menyesatkan.

Yusril menilai perkara ini bukan dalam ranah pidana namun masuk ke ranah perdata. Ia mengatakan, KPK salah beranggapan penerbitan SKL kepada pemegang saham BDNI Sjamsul Nursalim melawan hukum karena merugikan negara.

Hal itu karena pemberian SKL yang dilakukan oleh Syafruddin pada saat menjadi kepala BPPN didasarkan atas kewenangannya yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 1999 Tentang BPPN, termasuk dengan perubahannya.

"Terdakwa sebagai Ketua BPPN hanya menjalankan peraturan perundang-undangan dan perintah dari KKSK dan Menteri Negara BUMN atau lembaga yang membawahi Ketua BPPN," katanya menambahkan.

Yusril mengatakan, tidak tepat jika kebijakan pemerintah yang telah diterima oleh rapat kabinet kemudian dipermasalahkan dan menunjuk Syafruddin sebagai pihak yang bertanggung jawab.

"Oleh karena masalah ini sepenuhnya adalah masalah perdata, maka kami berpendapat Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili perkara ini," kata Yusril menegaskan.