Buruh Khawatirkan Dampak Penerapan Industri 4.0

Katadata
Ilustrasi
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
4/5/2018, 16.47 WIB

Salah satu serikat buruh, Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (K-SBSI), mengkhawatirkan dampak penerapan revolusi industri 4.0. Mereka menilai penerapan revolusi industri 4.0 yang menggunakan proses digitalisasi dan otomatisasi akan mengancam para tenaga kerja.

Aktifis K-SBSI Andi William Sinaga mengatakan, ancaman pengurangan tenaga kerja itu terlihat dari berkurangnya jumlah tenaga kerja di sektor retail. Selain itu, tenaga kerja di sektor transportasi juga terancam kehilangan pekerjaannya.

Perusahaan transportasi konvensional yang merugi lantaran persaingan dengan dengan taksi online yang berakibat pada pengurangan karyawan. "Baru-baru ini disebutkan ada satu perusahaan taksi konvensional yang merugi. Ada informasi akan mengurangi pekerja di sana," kata Andi di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Jumat (4/5).

(Baca juga: Begini Proses Revolusi Industri 4.0 Diterapkan Perusahaan Skala Besar)

Andi menyatakan revolusi industri 4.0 sebenarnya dapat membuka peluang lapangan pekerjaan baru. Hanya saja, hal tersebut sulit terealisasi lantaran pemerintah belum memiliki peta jalan yang jelas menghadapi risiko perubahan lapangan kerja ke depan.

Selain itu, pemerintah juga dinilai belum optimal memfasilitasi peningkatan keterampilan tenaga kerja di Indonesia. Padahal, saat ini 60% jumlah tenaga kerja Indonesia belum memiliki keterampilan khusus.

Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial Anton J. Supit, menambahkan, ketrampilan tenaga kerja minim karena rendahnya pendidikan. "Dari 128 juta tenaga kerja, sekitar 50 juta itu maksimal hanya tamatan Sekolah Dasar (SD)," kata Anton.

Persoalan lainnya karena banyak tenaga kerja di Indonesia yang keterampilannya tak sesuai dengan kebutuhan industri. Direktur Eksekutif International NGO Forum for Indonesia (INFID) Sugeng Bahagjo mengatakan, ketidaksesuaian keterampilan tenaga kerja ini disebabkan belum banyaknya program magang dalam pendidikan Indonesia.

"Kita magang tidak wajib, kebanyakan (dapat) teori," kata Sugeng.

Sugeng merekomendasikan agar pemerintah dapat menambah volume vokasi dan pemagangan di Indonesia. Dia juga menilai industri perlu didorong berperan dalam rangka peningkatan atau penyesuaian keterampilan trnaga kerja.

"Ruang di industri itu harus dibuka bahwa (peningkatan keterampilan tenaga kerja) itu penting," kata Sugeng.

Sugeng pun menyarankan adanya realokasi dana pendidikan sebesar 5-10% dari APBN untuk peningkatan keterampilan tersebut. Selain itu, dia juga menilai pemerintah perlu memberikan skema dana pengembangan keterampilan (Skill Development Fund/SDF).

Menurut Sugeng, SDF telah terbukti berhasil meningkatkan keterampilan tenaga kerja di 60 negara. Untuk di Indonesia, dia menilai diperlukan sekitar Rp 30-50 triliun per tahun untuk penerapan SDF. Nantinya dana tersebut dapat dikelola melalui skema pemerintah-industri, antar-industri, serta secara sektoral.

"SDF ini dana jangka panjang untuk semua (tenaga kerja) bisa berlatih dan semua (industri) bisa jadi provider," kata Sugeng.

(Baca juga: Jokowi Tak Percaya Robot Gantikan 800 Juta Pekerja pada 2030)