Mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto menyatakan pasrah menghadapi tuntutan yang akan disampaikan Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) dalam perkara korupsi Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP). Jaksa KPK akan membacakan tuntutan terhadap Setnov dengan berkas yang sangat tebal.
Berkas tuntutan mencapai 2415 halaman yang tinggi tumpukannya sekitar setengah meter. Berkas tuntutan yang tampak berat tersebut dibawa menggunakan troli ke dalam ruang sidang.
"Dengarkan JPU dan percayakan pada JPU," kata Setya Novanto sebelum persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (29/3).
Setnov menyatakan menyerahkan sepenuhnya soal pengajuan dirinya sebagai Justice Collaborator (JC) kepada JPU KPK. JC merupakan pelaku tindak pidana yang mengakui perbuatannya, bukan pelaku utama dan memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.
(Baca juga: Jaksa Tuntut Setnov 16 Tahun dan Cabut Hak Jadi Pejabat Publik)
Setya Novanto sebelumnya telah mengajukan JC kepada KPK sebanyak lima kali. Pengajuan tersebut dilakukan Novanto pada 10 Januari 2018, 24 Januari 2018, 30 Januari 2018, 6 Februari 2018, dan 13 Maret 2018.
Novanto mengatakan, dalam pengajuan JC dia turut memberikan keterangan terkait aliran dana kasus korupsi e-KTP. Ada beberapa nama yang ia sebut terlibat dalam kasus yang merugikan negara Rp 2,3 triliun itu.
Kuasa hukum Novanto, Firman Wijaya mengklaim kliennya telah memenuhi syarat sebagai JC. Firman menilai, Novanto telah mengakui perbuatannya dalam perkara korupsi e-KTP. Hal ini ditunjukkan dengan dijelaskannya berbagai pertemuan penting yang ia datangi selama korupsi e-KTP berlangsung.
Firman juga mengklaim Novanto telah mengaku menerima pemberian jam tangan Richard Mille dari pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong pada 2016. Hanya saja, Novanto mengaku mengembalikannya dengan alasan rusak dan tak bersertifikat.
(Baca juga: Drama Perkara Setnov: Dari Saksi Bunuh Diri hingga Bantuan ke Demokrat)
Novanto pun dianggap telah mengembalikan uang sebesar RP 5 miliar yang digunakan membiayai Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Golkar pada Juni 2012. Uang tersebut diketahui telah dikembalikan Novanto kepada KPK.
"Yang paling penting bisa saja beliau berikan exploring atau penjelasan bagaimana proses yang lebih mendalam berkaitan dengan kesaksian yang diberikan Andi Narogong, Irvanto Hendra Pambudi Cahya dan Made Oka Masagung," kata Firman.
Dengan demikian, Firman menilai JPU KPK perlu mempertimbangkan JC yang diajukan Novanto. "Karena kasus e-KTP bukan sekedar kasus serious crime tapi scandal crime," kata Firman.
Dalam persidangan hari ini, hadir pula Menteri Sosial Idrus Marham, untuk memberikan dukungan moral kepada rekan seperjuangannya di Golkar tersebut.
"Saya diajari sejak kecil dan juga diajari agama kalau ada saudara kena masalah ya harus didatangi. Hari ini adalah tuntutan, ya saya datang," kata Idrus.
(Baca juga: Setnov Terima US$ 7,3 Juta, Jaksa Tak Sebut Aliran Uang ke Ganjar)
Idrus pun meminta agar Novanto untuk tabah dan pasrah untuk menerima tuntutan JPU KPK. Dia enggan memprediksi tuntutan yang akan disampaikan JPU KPK nantinya.
"Kunci dalam menjalani segala hidup ini adalah ketabahan, kepasrahan untuk menerima apa yang ada," kata Idrus.
Pada persidangan sebelumnya, Setnov sempat menyebut nama Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung. Kedua yang merupakan politisi PDIP masing-masing disebut menerima US$ 500 ribu.
Setnov juga mengakui menerima uang Rp 5 miliar dari keponakannya Irvanto untuk membiayai Rapimnas Partai Golkar pada Juni 2012. Uang tersebut telah dikembalikannya kepada KPK.
Setya Novanto didakwa merugikan negara sebesar Rp 2,3 triliun dalam kasus korupsi proyek pengadaan pengadaan e-KTP 2011-2013. Novanto diduga melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri dengan menerima uang sejumlah US$ 7,3 juta atau sekitar Rp 99,3 miliar (sesuai kurs saat ini).
Uang tersebut diterima melalui Made Oka Masagung sejumlah US$ 3,8 juta dan keponakannya Irvanto Hendra Pambudi Cahyo sejumlah US$ 3,5 juta.