Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Ombudsman Perwakilan DKI Jakarta atas kebijakan penataan PKL di Tanah Abang, Jakarta, menimbulkan riak di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jakarta. Politikus DPRD mengumpulkan tanda tangan untuk mengajukan hak interpelasi atau meminta keterangan kepada pemerintah.
Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di DPRD DKI Gembong Warsono mengatakan, pengajuan hak interpelasi tersebut dalam rangka perbaikan persoalan PKL Tanah Abang. Gembong mengatakan, pemerintahan Anies-Sandiaga Uno telah berulangkali diminta untuk memperbaiki kebijakannya.
Sebelum peringatan Ombudsman Jakarta, Ditlantas Polda Metro Jaya juga telah memberikan rekomendasi kepada Anies untuk membuka Jalan Jatibaru Raya karena menimbulkan kemacetan dan merupakan pelanggaran lalu lintas. Namun, rekomendasi ini tak diindahkan Anies.
"Artinya kan sama (peringatan kepada Anies). Makanya sekarang kami, teman-teman yang sama-sama mengajukan hak interpelasi itu," kata Gembong ketika dihubungi katadata.co.id, Rabu (28/3).
(Baca juga: Divonis Melawan Hukum soal PKL Tanah Abang, Anies Bisa Dibebastugaskan)
Menurut Gembong, saat ini sudah ada lebih dari 20 anggota dewan dari berbagai fraksi yang akan mengajukan hak interpelasi kepada Anies. Sementara syarat hak interpelasi ini minimal diajukan oleh 25 anggota DPRD dan lebih dari satu fraksi. Hanya beberapa orang saja buat PDIP untuk menggalang dukungan.
Hanya saja, Gembong masih akan menunggu Anies melaksanakan langkah korektif atau perbaikan kebijakan setelah mendapat LHP dari Ombudsman Jakarta dan rekomendasi Ditlantas Polda Metro Jaya. "Jadi kami tunggu dulu. Kalau tidak ada aksi dari Pemprov DKI baru nanti soal interpelasi kita dorong kepada pimpinan," kata Gembong.
Gembong mengatakan, pihaknya tidak perlu menunggu 30 hari atau hingga batas waktu yang diberikan Ombudsman Jakarta sebelum meningkatkan status LHP menjadi rekomendasi. Alasannya, pihaknya dapat menilai apakah langkah korektif itu akan dijalankan Anies.
"Sebelum itu sudah bisa kalau ada tanda-tanda belum menjalankan langkah korektif," kata dia.
Berdasarkan UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) Pasal 322, hak interpelasi dapat diajukan Gubernur terkait kebijakan pemerintah daerah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Saat ini, hak interpelasi didukung oleh PDIP dan NasDem yang masing-masing memiliki 28 dan lima kursi di DPRD DKI. Selain PDIP dan Nasdem, partai lainnya memilih menolak atau bersikap netral. Gerindra dan PKS merupakan dua partai yang menolak interpelasi ini.
(Baca juga: Kemenhub Sodorkan Solusi Penataan Tanah Abang ke Pemprov Jakarta)
Ombudsman RI Perwakilan DKI Jakarta menerbitkan LHP terkait kebijakan penataan pedagang kaki lima (PKL) di Jalan Jatibaru, Tanah Abang. Dalam LHP tersebut, Ombudsman RI Perwakilan DKI Jakarta menemukan tindakan maladministrasi dalam pemberlakukan kebijakan penataan pedagang kaki lima di Jalan Jatibaru Raya, Jakarta yang dikeluarkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Anies diberi waktu 30 hari untuk melakukan langkah korektif dengan mengevaluasi secara menyeluruh dan penataan ulang Kawasan Tanah Abang sesuai peruntukannya. Jika langkah korektif tak dilakukan setelah 30 hari kerja hasil pemeriksaan disampaikan, maka Ombudsman akan menerbitkan rekomendasi.
Rekomendasi ini wajib dipatuhi oleh Anies sebagai terlapor sebagaimana tercantum dalam Pasal 37 ayat (1) dan Pasal 38 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI. "Kalau terlapor atau atasan terlapor tidak melaksanakan ada sanksi administratif. Dia (Anies) bisa dibebastugaskan," kata Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Ombudsman RI Perwakilan DKI Jakarta Dominikus Dalu.
(Baca juga: Menhub Akan Minta Gubernur Anies Buka Jalan Stasiun Tanah Abang)
Salah satu maladministrasi karena Pemprov DKI Jakarta dinilai tidak kompeten dalam melakukan penataan PKL di Jalan Jatibaru. Dominikus mengatakan, Anies bersama Dinas Koperasi, UKM, dan Perdagangan DKI Jakarta belum mengantisipasi dampak dari penataan PKL di Jalan Jatibaru.
Menurut Dominikus, kebijakan tersebut menimbulkan dampak kerugian secara ekonomi terhadap para pedagang Pasar Blok G Tanah Abang. Sebab, omzet pedagang Pasar Blok G Tanah Abang mengalami penurunan sebesar 50%-60% setelah pemberlakuan kebijakan tersebut.
Selain itu, penataan PKL di Jalan Jatibaru mengabaikan aspek keadilan karena pedagang Pasar Blok G yang patuh dan membayar retribusi kurang diperhatikan dengan adanya kebijakan tersebut. Kebijakan Anies juga dinilai masih parsial karena tanpa rencana induk penataan PKL dan peta jalan PKL.
Hasil pemeriksaan Ombudsman pun menemukan bahwa penutupan Jalan Jatibaru untuk penataan PKL berdampak terhadap terganggunya fungsi jalan dan membuat kemacetan di ruas jalan lainnya. Kebijakan ini pun menyimpang dari prosedur karena tanpa mendapatkan izin terlebih dahulu dari Polda Metro Jaya.
Kebijakan alih fungsi Jalan Jatibaru telah melanggar Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan, dan Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.
Selain itu diskresi Anies dalam penataan PKL dengan menutup Jalan Jatibaru tidak sejalan dengan ketentuan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Diskresi tersebut juga mengabaikan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta 2030 dan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Pengaturan Zonasi DKI Jakarta 2030.