Airlangga Rangkap Jabatan, Kinerja Industri Dikhawatirkan Terganggu

Kemenperin
Presiden Joko Widodo dan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto meninjau prototipe mobil desa di Desa Tumang, Boyolali, Jawa Tengah, 30 Januari 2017 lalu.
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
17/1/2018, 19.32 WIB

Presiden Joko Widodo (Jokowi) tetap mempertahankan Airlangga Hartarto sebagai Menteri Perindustrian meskipun rangkap jabatan sebagai Ketua Umum Golkar. Keputusan Jokowi mempertahankan Airlangga menimbulkan pro dan kontra dari beragam kalangan.

Peneliti dari Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai keputusan Jokowi mempertahankan Airlangga sebagai Menperin kurang tepat. Bhima mengatakan, Airlangga yang merangkap sebagai pimpinan parpol berpotensi mempengaruhi kinerja pemerintah di sektor industri.

"Walaupun ada pembagian kerja dengan (pekerjaan) partai katanya disambi malam, tetap akan ada pengaruh (terhadap kinerja kabinet)," kata Bhima ketika dihubungi Katadata, Rabu (17/1). 

(Baca: Alasan Jokowi Pertahankan Airlangga Meski Jabat Ketum Golkar)

Bhima mengatakan pertumbuhan industri nasional yang masih lambat memerlukan perhatian. Pertumbuhan industri nasional pada 2017 hanya mencapai 4,84% atau masih berada di bawah nilai pertumbuhan ekonomi sebesar 5,05%.

Selain itu industri selama 10 tahun belakangan mengalami deindustrialisasi. Pada 2001, kontribusi sektor industri terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai sekitar 27%, namun menurun hanya menjadi 20,51% pada 2016.

"Kemudian dari sisi terjadinya deindustrialisasi ini makin parah, karena sharenya bahkan sempat di bawah 20% untuk industri manufaktur," kata Bhima.

Dengan posisi Airlangga yang memimpin kementerian rangkap jabatan sebagai Ketua Umum Golkar, Bhima khawatir kinerja sektor industri melambat. Akibatnya, penyerapan tenaga kerja untuk industri pun semakin berkurang. "Seharusnya dengan kondisi seperti itu harus dicari sosok yang profesional," kata Bhima.

Selain itu, Bhima juga khawatir adanya konflik kepentingan akibat adanya rangkap jabatan. Menurutnya, konflik kepentingan dapat mengakibatkan kebijakan sektor industri berjalan parsial dan terkesan diskriminatif.

"Sehingga akan sarat kebijakan industrinya menguntungkan sekelompok elit tertentu yang punya industri," kata Bhima.

(Baca: Kadin: Selama 10 Tahun Indonesia Alami Deindustrialisasi)

Bhima pun menilai jika reshuffle kabinet yang dilakukan Jokowi kali ini memang tidak ditujukan untuk perbaikan ekonomi. "Jadi reshufflenya hanya sebagai konsolidasi politik," kata dia.

Sementara itu Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menyerahkan keputusan menteri rangkap jabatan kepada Jokowi. "Kalau presiden mempercayakan boleh rangkap jabatan ya enggak masalah juga, dulu juga banyak yang rangkap jabatan," kata Hariyadi.

Sementara itu, Ketua Komite Ekonomi Nasional (KEIN) Soetrisno Bachir mengatakan perombakan kabinet atau reshuffle yang dilakukan pada hari ini tidak akan memengaruhi ekonomi. “Reshuffle kan hanya satu menteri, yang lain Wantimpres (Dewan Pertimbangan Presiden),” kata Soetrisno.

Soetrisno menilai rangkap jabatan tidak akan memicu masalah dan tidak akan mengganggu karena Golkar merupakan organisasi yang sudah matang. “Golkar bukan partai baru. Walaupun ketua partai saudara Airlangga merangkap Menperin saya kira tidak akan mengganggu kementerian,” ujar dia.

(Baca: Jokowi Lantik Idrus Marham Jadi Mensos, Moeldoko Gantikan Teten)

Sebelumnya Jokowi menjelaskan alasan mempertahankan Airlangga karena masa jabatan menteri di kabinetnya hanya tersisa sekitar satu tahun dan apabila diganti orang lain akan mengganggu kinerja kabinet.

Selain itu Jokowi mengatakan Airlangga merupakan sosok yang sangat menguasai tugas di Kementerian Perindustrian. "Pak Airlangga itu betul-betul menguasai dan mengerti betul baik yang berkaitan mengenai konsep makro industri di negara kita, dengan menyiapkan strategi industri hilirisasi ke depan seperti apa," kata Jokowi.

Di masa awal pemerintahannya, Jokowi pernah melarang menteri merangkap jabatan. Ketika itu Jokowi mengatakan rangkap jabatan akan mengganggu kinerja di pemerintahan. Sehingga saat Jokowi-JK mengumumkan formasi Kabinet Kerja pada 27 Oktober 2014, beberapa menteri yang memiliki posisi pemimpin di partai politik, melepaskan jabatan di parpol.

Reporter: Rizky Alika