Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta memutuskan tidak dapat menerima permohonan yang diajukan oleh PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP). Perusahaan yang dimiliki pengusaha Sukanto Tanoto itu menggugat Surat Keputusan (SK) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 5322/2017 yang berisi pembatalan atas Rencana Kerja Usaha (RKU) RAPP yang sebelumnya pernah diterbitkan.
"Menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima. Kedua, menghukum pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 376 ribu," kata Hakim Ketua Oenoen Pratiwi saat membacakan putusan di PTUN Jakarta, Kamis (21/12).
Majelis hakim menyatakan permohonan tersebut tidak dapat diterima karena tak memenuhi syarat formal. Permohonan RAPP seharusnya diajukan melalui gugatan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 53 Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 tentang PTUN.
"Dengan demikian, pengadilan berkesimpulan bahwa permohonan yang diajukan pemohon untuk mendapat keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintahan bukanlah permohonan yang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 53 UU Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan," kata hakim anggota Roni Erry Saputro.
(Baca: Menteri Siti Sebut Tidak Tepat RAPP Gugat SK Pencabutan RKU)
Majelis hakim juga berpendapat bahwa fiktif positif (sikap diam pemerintah bermakna setuju) yang diajukan penggugat, hanya dapat membatalkan keputusan yang bersifat baru. Fiktif positif tidak dapat dilakukan untuk pembatalan keputusan yang sudah ada.
Selain itu, majelis hakim juga berpendapat bahwa permohonan pembatalan SK melalui fiktif positif dapat menimbulkan dampak negatif. Pasalnya, jika permohonan diterima maka gugatan atas keputusan yang diterbitkan pemerintah tak akan dilakukan lagi melalui PTUN.
"Hal tersebut rentan terjadi penyelundupan hukum yang dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab," kata Roni.
(Baca: RAPP Mengaku Salah dan Akan Perbaiki Rencana Kerja Usaha HTI)
Kuasa hukum RAPP Hamdan Zoelva mengatakan, pihaknya akan mengajukan peninjauan kembali atas putusan yang dikeluarkan oleh PTUN tersebut. Hamdan menilai pendapat hakim tidak tepat karena seharusnya fiktif positif dapat dilakukan jika surat keberatan untuk mencabut keputusan pemerintah apapun tidak direspon dalam waktu 10 hari.
"Menurut kami, apakah permohonan baru atau pencabutan, sama saja permohonan yang merupakan fiktif positif," kata Hamdan.
Hamdan pun menyatakan RAPP akan segera melakukan gugatan terhadap pokok perkara, yakni diterbitkannya SK Menteri LHK Nomor 5322/2017. Pasalnya, SK tersebut diterbitkan seiring adanya PP 57 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas PP 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
PP tersebut mewajibkan seluruh pemegang izin HTI yang ada gambut di dalam konsesinya melakukan penyesuaian RKU. Menurut Hamdan, pasal peralihan dalam PP tersebut tak bersifat retroaktif, sehingga RAPP tidak dapat diwajibkan melakukan penyesuaian RKU.
"Objeknya pencabutan itu karena melanggar dan melampaui kewenangan. Kami akan lakukan langkah dua-duanya segera mungkin," kata Hamdan.
(Baca: Menteri LHK Paparkan Manuver RAPP Langgar Aturan Lahan Gambut)
Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono mempersilakan jika RAPP ingin kembali melakukan peninjauan kembali dan menggugat SK Menteri LHK Nomor 5322/2017. Menurut Bambang, ia tak mau terus meribukan masalah tersebut.
"Yang pasti kami meminta RKU segera disahkan. Karena dia dalam proses ke kami, kalau tidak mengikuti itu kami akan lakukan langkah berikutnya, antara lain peringatan," kata Bambang.
Bambang meminta agar RAPP melakukan revisi RKU dalam tenggat 14 hari setelah KLHK menyampaikan surat revisi pada 8 Desember 2017. Dia berharap, seluruh RKU yang dimiliki pemegang izin dapat diselesaikan pada tahun ini.
"Supaya kami bisa memantau tahun 2018 di mana kebijakan kelola gambut ke depannya setelah seluruh perusahaan punya RKU yang berbasis ekosistem gambut. Nanti akan ketahuan berapa yang harus kami jaga," kata Bambang.
(Baca: Sejak Tahun 2015, Titik Kebakaran Hutan Berkurang 89%)