Sebut Istilah Pribumi, Anies Baswedan Dianggap Bangkitkan Politik SARA

ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saat berpidato politik menyebutkan istilah pribumidi Balaikota DKI Jakarta, Senin (16/10).
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
17/10/2017, 12.32 WIB

Pidato politik pertama Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada Senin (16/10) malam menuai kecaman. Anies dianggap membangun sentimen rasial dan membangkitkan politik identitas terkait suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) dengan penyebutan istilah pribumi.

Ketua SETARA Institute, Hendardi, mengatakan pidato Anies menunjukkan visi politik yang rasisme. Apalagi sebelumnya, kata Hendardi, banyak pihak yang beranggapan bahwa Anies menggunakan politik SARA sebagai strategi untuk memenangi pemilihan kepala daerah di Jakarta.

“Politisasi identitas bukan hanya untuk menggapai kursi Gubernur tetapi hendak dijadikan landasan memimpin dan membangun Jakarta. Pidato yang penuh paradoks: satu sisi mengutip pernyataan Bung Karno tentang negara semua untuk semua, tapi di sisi lain menggelorakan supremasi etnisitas dengan berkali-kali menegaskan pribumi dan nonpribumi sebagai diksi untuk membedakan sang pemenang dengan yang lainnya,” kata Hendardi, Selasa (7/10).

(Baca: Indeks Demokrasi Jakarta Anjlok Drastis Akibat Kampanye Pilgub)

Lebih lanjut Hendardi mengatakan, seharusnya pidato politik yang dibutuhkan warga Jakarta adalah mengatasi keterbelahan akibat politisasi identitas. “Tetapi justru (Anies) mempertegas barikade sosial atas dasar ras dan etnis,” kata Hendardi.

Anies berpidato di Balai Kota DKI, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta menyampaikan soal perjuangan pribumi melawan kolonialisme. Berikut petikan pidato Anies:

“Jakarta adalah satu dari sedikit kota di Indonesia yang merasakan kolonialisme dari dekat. Penjajahan di depan mata selama ratusan tahun. Betul tidak saudara-saudara? Di tempat lain kolonialisme terasa jauh, tapi di Jakarta, bagi orang Jakarta, kolonialisme di depan mata, dirasakan sehari-hari. Karena itu bila kita merdeka, maka janji-janji itu harus terlunaskan bagi warga Jakarta,

“Dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan, kini telah merdeka, kini saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Jangan sampai Jakarta ini seperti dituliskan dalam pepatah Madura, "Itik se atellor, ayam se ngeremme." Itik yang bertelur, ayam yang mengerami. Kita yang bekerja keras merebut kemerdekaan, kita yang bekerja keras merebut kolonialisme, kita yang harus merasakan manfaat kemerdekaan di ibu kota ini.”

Direktur Indonesia Public Institut Karyono Wibowo mengatakan pidato Anies bertentangan dengan UU No.40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.  (Baca: Soal Reklamasi, Prabowo Ingatkan Anies-Sandi Akomodasi Pengusaha)

Selain itu berpotensi melanggar Instruksi Presiden Nomor 26 tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Nonpribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan. "Apalagi dalam UUD 1945 semua warga negara sama kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan," kata dia. 

Istilah pribumi dan nonpribumi mencerminkan pemisahan sosial di zaman penjajahan Belanda yang membagi masyarakat atas tiga kelas yakni Eropa, golongan Timur Asing (Tiongkok, Arab, India) dan kelompok terakhir pribumi. “Mestinya Anies juga berkaca terlebih dahulu, apabila term kelas zaman Belanda masih dipakai, apa yang dia katakan soal pribumi menepuk air muka sendiri,” kata Karyono.