BPK Temukan Kerugian Negara Kasus BLBI Nursalim Rp 4,6 Triliun

ANTARA FOTO/Wahyu Putro A.
Juru Bicara KPK, Febri Diansyah
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
10/10/2017, 09.23 WIB

BPK menyimpulkan adanya indikasi penyimpangan SKL BLBI tetap diberikan walaupun belum menyelesaikan kewajiban secara keseluruhan.  (Baca juga: KPK Klaim Tersangka Kasus BLBI Tak Dapat Buktikan Gugatan Praperadilan)

SKL diterbitkan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).

Berdasarkan Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang, meski baru melunasi 30% dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70% dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN. (Baca: Jokowi Minta Bedakan Inpres Megawati Soal BLBI dengan Pelaksanaan)

Syafruddin diduga mengusulkan pemberian Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham atau SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham atau pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) pada 2004 sebesar Rp 4,8 triliun.

Nilai tersebut berupa Rp 1,1 triliun ditagihkan ke petani tambak sedangkan Rp 3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi. "Dari nilai Rp 1,1 triliun itu kemudian dilelang oleh PPA dan didapatkan Rp 220 miliar. Sisanya Rp 4,58 triliun menjadi kerugian negara," kata Febri menjelaskan hasil audit BPK.

Halaman: