Penolakan Bukti Rekaman dan Kejanggalan di Praperadilan Setya Novanto

ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
Hakim tunggal Cepi Iskandar memimpin sidang praperadilan Setya Novanto terhadap KPK terkait status tersangka kasus dugaan korupsi KTP Elektronik di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Senin (25/9).
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
29/9/2017, 09.16 WIB

"Padahal putusan tersebut mengikat sebagai norma hukum atas peraturan perundang-undangannya yang diuji-materilkan," kata Lalola.

Selain itu, Hakim Cepi juga mengabaikan keterangan KPK yang menyebutkan bahwa dalil permohonan Novanto sudah masuk dalam pokok perkara. Novanto menguji keabsahan alat-alat bukti yang dijadikan dasar untuk menjeratnya sebagai tersangka dugaan korupsi, yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor.

Ketiga, hakim mengabaikan permohonan intervensi yang diajukan oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) dan Organisasi Advokat Indonesia (OAI) dalam sidang praperadilan 22 September 2017.  Gugatan intervensi tersebut sebagai upaya menguatkan posisi KPK.

Pengabaian tersebut dengan alasan gugatan dari para pemohon intervensi belum terdaftar dalam sistem informasi pencatatan perkara. “Keterangan tersebut sungguh janggal, karena berdasarkan penelusuran, MAKI sudah mendaftarkan gugatan sebagai pemohon intervensi sejak 6 September 2017,” kata Lalola.  

Keempat, pertanyaan Hakim Cepi kepada ahli Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari sebagai kejanggalan. Sebab, Lalola menilai pertanyaan yang dilontarkan tentang sifat adhoc lembaga KPK itu tidak ada kaitannya dengan pokok perkara praperadilan.

"Pertanyaan ini jelas tidak pada tempatnya sehingga motivasi Hakim Cepi Iskandar ketika mengajukan pertanyaan tersebut patut dipertanyakan," tutur Lalola.

Kelima, laporan kinerja KPK yang berasal dari Pansus dijadikan bukti Praperadilan. Kuasa Hukum SN membawa sejumlah bukti, yang salah satunya adalah LHP BPK Nomor 115/HP/XIV/12/2013 atau LHKP KPK 115, yang pada intinya menjabarkan kinerja KPK selama 10 tahun ke belakang. Dokumen ini diduga diperoleh tanpa melalui mekanisme yang sah, karena dokumen tersebut diduga diperoleh dari Pansus Angket KPK.

"Bukan dari lembaga resmi yang seharusnya mengeluarkan yaitu BPK," kata Lalola.

Dengan adanya enam kejanggalan tersebut, ICW pun meminta publik mengantisipasi putusan praperadilan. Sebab, kejanggalan tersebut bisa menghasilkan dikabulkannya gugatan Novanto atas penetapan tersangkanya.

"Publik harus mengantisipasi kemungkinan besar dikabulkannya permohonan tersebut oleh Hakim Tunggal, Cepi Iskandar," kata Lalola.

Halaman: