370 Pejabat Dipenjara, Jokowi: Pemberantasan Korupsi Belum Berhasil

Kris | Biro Pers Sekretariat Kepresidenan
Presiden Jokowi memberikan sambutan dalam pembukaan Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi (KNPK) di Gedung Balai Kartini, Jakarta Kamis (1/12)
Penulis: Safrezi Fitra
1/12/2016, 12.45 WIB

Presiden Joko Widodo kembali menegaskan komitmennya terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Dia menilai hingga saat ini upaya pemberantasan dan pencegahan korupsi belum berhasil, karena masih banyak pejabat negara yang ditangkap karena terlibat kasus ini.

Data yang dipegang Jokowi mencatat hingga saat ini sudah ada 370 pejabat negara yang dipenjara karena kasus korupsi. Rinciannya sebanyak 122 orang anggota DPR dan DPRD, 25 menteri atau kepala lembaga, 4 duta besar, 7 komisioner, 17 gubernur, 51 bupati dan walikota, 130 pejabat eselon I sampai eselon III, serta 14 hakim.

Banyaknya pejabat negara yang telah dipenjara ini bukanlah sesuatu yang membanggakan. “Menurut saya semakin sedikit yang dipenjara, itu artinya kita semakin berhasil mencegah dan memberantas korupsi," kata Jokowi dalam keterangannya saat membuka Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi (KNPK) Tahun 2016 di Gedung Balai Kartini, Jakarta, Kamis (1/12).

(Baca: Sri Mulyani: Saya Pernah Diberi Amplop Isi Dolar oleh Gubernur)

Lembaga yang melakukan pemeringkatan indeks persepsi korupsi negara-negara di dunia Transparency International (TI), memposisikan Indonesia pada peringkat adalah 88 pada 2015. Indonesia kalah dari Singapura, Malaysia, dan Thailand. Ketiganya masing-masing ada di peringkat 8, 54, dan 76.

Korupsi merupakan salah satu permasalahan besar yang menyebabkan terganggunya sistem pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Dia mengatakan prestasi terbaik dari upaya pemberantasan korupsi yang selama ini dilakukan adalah semakin baiknya bentuk pelayanan publik di Indonesia.

Korupsi sangat berpengaruh pada daya saing nasional. Selama ini peningkatan daya saing Indonesia masih terhambat tiga masalah besar. Permasalahan ini adalah korupsi, inefisiensi birokrasi, dan ketertinggalan infrastruktur. “Tiga hal besar ini memang yang harus kita atasi bersama-sama," ujarnya.

Kenyataan bahwa masih banyaknya praktik korupsi di Indonesia, menunjukkan bahwa penegakan hukum selama ini ternyata belum sepenuhnya memberikan efek jera bagi para koruptor. Namun, Presiden meminta seluruh pihak untuk tidak patah semangat melawan korupsi.

Jokowi menyatakan akan mendukung penuh penguatan KPK dari sisi kelembagaan dan kemandirian. Kemudian perlu ada sinergi yang baik antara KPK dengan aparat penegak hukum lainnya. Dia memerintahkan institusi kejaksaan dan kepolisian melakukan reformasi di internalnya, agar menghasilkan penegak-penegak hukum yang profesional.

Di sektor pelayanan publik, Jokowi telah memerintahkan seluruh kementerian dan lembaga memberikan prioritas pada upaya reformasi perizinan dan pelayanan. Sebab, sektor-sektor yang berkaitan langsung dengan rakyat dan pengadaan biasanya merupakan area-area yang rawan dengan terjadinya tindak pidana korupsi.

"Prioritas juga diberikan pada peningkatan transparansi penyaluran dana hibah, bantuan sosial serta pengadaan barang dan jasa. Saya sudah perintahkan untuk penyaluran bantuan sosial dan dana hibah harus lewat sistem perbankan," ujarnya.

Berbagai cara dilakukan pemerintah untuk mendukung upaya tersebut, seperti pemberantasan pungutan liar (pungli) oleh Tim Sapu Bersih (Saber) Pungli. Selain itu, melanjutkan langkah-langkah deregulasi yang sampai saat ini sudah sampai pada paket kebijakan ke-14 juga dianggap perlu.

(Baca: Pungli di Ditjen Imigrasi Jadi Keluhan Utama Investor Korea)

Pemanfaatkan sistem informasi dipercaya akan mampu mengurangi potensi-potensi tindak pidana korupsi. Namun, dia mengingatkan pembangunan sistem yang berbasis teknologi informasi bukanlah satu-satunya jawaban. Ini harus juga diimbangi dengan pengawasan internal dan eksternal yang efektif di masing-masing kementerian dan lembaga. Pelibatan masyarakat juga diperlukan dalam penerapan keterbukaan informasi.