Konsorsium Blok East Natuna meminta skema bagi hasil pengelolaan blok tersebut mengacu kepada pergerakan harga minyak. Permintaan itu akan dimasukkan dalam proposal kontrak bagi hasil yang akan diajukan kepada pemerintah melalui Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).

PT Pertamina (Persero) selaku pemimpin konsorsium mengatakan, proposal tersebut akan selesai dalam waktu dekat dan segera diserahkan kepada pemerintah. “Saya kira mungkin bulan depan, sekarang dalam proses untuk menyiapkan proposalnya,” kata Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto di Jakarta, Kamis (14/11).

(Baca: Kontrak Blok East Natuna Ditargetkan Diteken Akhir Tahun Ini)

Dalam proposal tersebut ada beberapa permintaan konsorsium, yang terdiri dari Pertamina, ExxonMobil dan PTT EP Thailand. Salah satunya adalah mengenai skema bagi hasil. Konsorsium akan meminta kontrak Blok East Natuna menggunakan skema sliding scale. Alasannya untuk memenuhi keekonomian proyek saat harga minyak dunia masih rendah. 

Dengan skema tersebut, besaran bagi hasil yang akan diperoleh kontraktor berdasarkan pada harga minyak ataupun produksi. Ketika harga minyak rendah, maka bagi hasil kontraktor lebih besar dibandingkan negara. Begitu juga sebaliknya. (Baca: Pemerintah Siapkan Insentif Agar Blok East Natuna Cepat Produksi)

Selama ini bagi hasil yang diperoleh kontraktor untuk minyak adalah 15 persen, dan sisanya pemerintah. Sementara untuk gas, kontraktor hanya mendapatkan 30 persen dari produksi setelah dikurangi first tranche petroleum (FTP) atau minyak produksi pertama yang menjadi bagian pemerintah dan cost recovery atau penggantian biaya operasi.

Dwi masih enggan mengatakan besaran bagi hasil yang diajukan dalam skema sliding scale. “Dengan harga minyak masih rendah, diharapkan ada sliding di dalam kontrak. Itu yang nanti hitung-hitungan besaran slidingnya berapa,” kata dia.

Pemerintah sebenarnya sudah memiliki konsep pengembangan Blok East Natuna. Blok ini nantinya akan memproduksi minyak dan gas bumi secara bertahap. Produksi minyak didahulukan karena untuk memproduksi gas memiliki tantangan tersendiri. Apalagi gas di blok ini memiliki kandungan karbon dioksida (CO2) yang mencapai 72 persen.

(Baca: Pengembangan Blok East Natuna Hadapi Tiga Tantangan)

Namun, ExxonMobil dan PTT EP Thailand selaku anggota konsorsium, perlu meminta izin dari kantor pusat sebelum menyetujuinya. Alhasil, pemerintah masih menunggu sikap konsorsium kontraktor mengenai kajian pengembangan Blok East Natuna.

Menurut Direktur Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) I.G.N. Wiratmaja Puja, konsorsium diberi waktu sampai pertengahan November ini untuk menentukan sikapnya.