Di sisi lain, revisi aturan ini juga dibutuhkan dalam kondisi cadangan migas nasional yang terus menipis. Menurut Arcandra cadangan minyak terbukti yang dimiliki Indonesia saat ini sebesar 3,8 miliar barel. Diperkirakan dalam 12 tahun ke depan, cadangan ini akan habis. Perhitungan ini mengacu pada asumsi produksi minyak sebesar 800.000 barel per hari. Sementara cadangan gas bumi diperkirakan akan habis dalam 33 tahun ke depan.

Selain merevisi aturan cost recovery, pemerintah juga mendorong penggunaan teknologi yang lebih modern untuk meningkatkan temuan cadangan migas baru. "Selama teknologi belum ada atau belum berani coba teknologi, maka 12 tahun lagi kita tidak bisa produksi minyak," kata Arcandra.

(Baca: Cadangan Minyak Habis 12 Tahun Lagi, Pemerintah Fokus Energi Baru)

Ada lima poin penting dalam revisi PP 79 tahun 2010. Pertama, fasilitas perpajakan pada masa eksplorasi yang mencakup Pajak Pertambahan Nilai (PPN) impor dan bea masuk serta PPN dalam negeri dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Kedua, seperti di masa ekplorasi, fasilitas serupa diberikan di masa eksploitasi dengan pertimbangan keekonomian proyek.

Ketiga, pembebasan Pajak Penghasilan (PPh) pemotongan atas pembebanan biaya operasi fasilitas bersama (cost sharing) oleh kontraktor. Hal ini dalam rangka memanfaatkan barang milik negara di bidang hulu migas dan alokasi biaya overhead kantor pusat.

(Baca: Beberapa Poin Revisi Cost Recovery Dinilai Tak Menarik Investor)

Keempat, mengenai fasilitas nonfiskal yang meliputi investment credit, depresiasi dipercepat, dan DMO holiday. Terakhir, pemerintah menetapkan konsep bagi hasil penerimaan negara berupa sliding scale. Dengan skema ini pemerintah bisa memperoleh bagi hasil yang lebih tinggi saat harga minyak naik signifikan (windfall profit).

Halaman: