Penurunan harga gas ini juga diharapkan bisa membuat daya saing industri dalam negeri meningkat. Mahalnya harga gas saat ini membuat daya saing industri di Indonesia kalah dibandingkan negara lain. (Baca: Tiga Industri yang Dapat Prioritas Penurunan Harga Gas)

Salah satu contohnya industri petrokimia. Saat ini, ada  24 perusahaan yang bergerak di industri petrokimia. Perusahaan tersebut rata-rata menikmati harga gas industri sebesar US$ 11,8 per mmbtu. Dampaknya, harga hasil produk petrokimianya seperti amonia mencapai US$ 476 per ton. Padahal harga produk impornya hanya US$ 265 per mmbtu.

Alhasil, sebanyak 24 perusahaan tersebut saat ini menghentikan kegiatan operasinya karena tidak dapat bersaing. Namun, jika harga gas bisa turun menjadi US$ 4 per mmbtu, harga produk petrokimia hanya US$ 219 per ton atau turun sebesar  53 persen.

Selain berhentinya kegiatan industri, Airlangga juga khawatir, banyak industri pindah ke negara lain kalau harga gas bumi tidak kunjung turun. Apalagi, sudah ada industri kaca yang ditawari pindah ke Malaysia karena harga gas sebesar US$ 2,5 per mmbtu di Malaysia. “Persoalannya kalau industri pindah, lapangan kerja bagaimana," kata dia.

Harga gas bumi ini memang sangat berpengaruh terhadap roda kegiatan industri karena menyumbang  70 persen dari struktur biaya produksi. Data Kementerian Perindustrian, untuk industri petrokimia yang terdiri dari 24 perusahaan, kebutuhan gasnya mencapai 468 juta kaki kubik per hari (mmscfd). Sedangkan pupuk yang hanya lima perusahaan  memerlukan kebutuhan gas lebih besar, yakni sebesar 791 mmscfd.

(Baca: Berpacu Mengurai Ruwetnya Masalah Harga Gas)

Di tempat yang sama Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM I.G.N Wiratmaja Puja mengatakan, ada empat cara menurunkan harga gas. Pertama, efisiensi biaya operasi (opex) di sektor hulu. Kedua, menghilangkan trader atau rantai penjualan berlapis di sektor hilir. Ketiga, mengurangi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Keempat, menghapus kutipan Pajak Penghasilan (PPh). 

Halaman: