Kementerian Perindustrian telah menghitung dampak dari penurunan harga gas untuk industri. Meski akan mengurangi bagi hasil minyak dan gas bumi (migas) untuk negara, penurunan harga gas tersebut dapat menimbulkan dampak berantai bagi perekonomian, baik berupa penerimaan lain atau lapangan kerja.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan, saat ini harga gas bumi di industri rata-rata mencapai US$ 9,5 per mmbtu. Jika pemerintah menurunkan harga gas bumi menjadi US$ 4 per mmbtu untuk 10 industri maka potensi penerimaan negara yang hilang sebesar Rp 53,86 triliun per tahun.
Sepuluh industri itu adalah industri pupuk, petrokimia, oleokimia, pulp dan kertas, baja dan logam, keramik, kaca, makanan dan minuman, ban dan sarung tangan karet, serta tekstil dan alas kaki. Jumlah perusahaan yang mencakup 10 industri itu sebanyak 330 perusahaan. (Baca: Harga Gas Jadi US$ 3,82, Penerimaan Negara Tergerus)
Namun, penerimaan yang hilang itu akan tergantikan penerimaan dari sumber lain, seperti pajak dari industri turunannya sebesar Rp 85,84 triliun per tahun. Alhasil, keuntungan bersih efek berantai dari kebijakan penurunan harga gas untuk industri tersebut sebesar Rp 31,98 triliun per tahun.
Selain itu, penurunan harga gas menjadi US$ 4 per mmbtu juga dapat memberikan lapangan pekerjaan untuk 240 ribu tenaga kerja. “"Makanya saya sudah sepakat dengan Ibu Sri Mulyani (Menteri Keuangan), kalau mengandung multiplier effect itu kita kembangkan suatu industri, kita perjuangkan untuk tujuan ekonomi Indonesia lebih kesejahteraan masyarakat," kata Airlangga di Jakarta, Selasa (1/11).
Apalagi, saat ini, menurut Airlangga, ada 72 proyek industri yang sedang menunggu kepastian penurunan harga gas bumi untuk berinvestasi di Indonesia. Total investasinya mencapai Rp 448,2 triliun, dan akan menyerap 183.837 tenaga kerja, baik langsung dan tak langsung.
Industri tersebut tersebar di seluruh Indonesia. Salah satu industri yang akan dibangun tersebut adalah industri petrokimia di Papua dengan berbasis metanol. Produk turunan yang dihasilkannya untuk bahan baku membuat karpet, plastik, untuk sektor rumah tangga, hingga kebutuhan otomotif.
Penurunan harga gas ini juga diharapkan bisa membuat daya saing industri dalam negeri meningkat. Mahalnya harga gas saat ini membuat daya saing industri di Indonesia kalah dibandingkan negara lain. (Baca: Tiga Industri yang Dapat Prioritas Penurunan Harga Gas)
Salah satu contohnya industri petrokimia. Saat ini, ada 24 perusahaan yang bergerak di industri petrokimia. Perusahaan tersebut rata-rata menikmati harga gas industri sebesar US$ 11,8 per mmbtu. Dampaknya, harga hasil produk petrokimianya seperti amonia mencapai US$ 476 per ton. Padahal harga produk impornya hanya US$ 265 per mmbtu.
Alhasil, sebanyak 24 perusahaan tersebut saat ini menghentikan kegiatan operasinya karena tidak dapat bersaing. Namun, jika harga gas bisa turun menjadi US$ 4 per mmbtu, harga produk petrokimia hanya US$ 219 per ton atau turun sebesar 53 persen.
Selain berhentinya kegiatan industri, Airlangga juga khawatir, banyak industri pindah ke negara lain kalau harga gas bumi tidak kunjung turun. Apalagi, sudah ada industri kaca yang ditawari pindah ke Malaysia karena harga gas sebesar US$ 2,5 per mmbtu di Malaysia. “Persoalannya kalau industri pindah, lapangan kerja bagaimana," kata dia.
Harga gas bumi ini memang sangat berpengaruh terhadap roda kegiatan industri karena menyumbang 70 persen dari struktur biaya produksi. Data Kementerian Perindustrian, untuk industri petrokimia yang terdiri dari 24 perusahaan, kebutuhan gasnya mencapai 468 juta kaki kubik per hari (mmscfd). Sedangkan pupuk yang hanya lima perusahaan memerlukan kebutuhan gas lebih besar, yakni sebesar 791 mmscfd.
(Baca: Berpacu Mengurai Ruwetnya Masalah Harga Gas)
Di tempat yang sama Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM I.G.N Wiratmaja Puja mengatakan, ada empat cara menurunkan harga gas. Pertama, efisiensi biaya operasi (opex) di sektor hulu. Kedua, menghilangkan trader atau rantai penjualan berlapis di sektor hilir. Ketiga, mengurangi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Keempat, menghapus kutipan Pajak Penghasilan (PPh).