Pemerintah Akan Kurangi Penerimaan Gas Jambaran-Tiung Biru

Katadata | Arief Kamaludin
2/9/2016, 16.28 WIB

Pemerintah tengah mengkaji beberapa opsi untuk menurunkan harga gas dari Lapangan Jambaran-Tiung Biru di Blok Cepu. Salah satu opsinya adalah dengan mengurangi bagi hasil yang diterima oleh pemerintah.

Pelaksana Tugas Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan pengurangan bagian pemerintah bisa membuat harga gas menjadi lebih murah. “Sehingga pabrik pupuk yang dekat Cepu bisa mendapat harga lebih bagus,” ujarnya, di Jakarta, Kamis (2/9). (Baca: Pertamina Minta Pemerintah Tanggung Selisih Harga Gas Tiung Biru)

Jatah pemerintah dari lapangan gas ini sebesar 45,8 persen. Sisanya 24, persen untuk kontraktor dan 29,7 persen untuk pengembalian biaya operasi (cost recovery). Ini berdasarkan revisi proposal Rencana Pengembangan Lapangan (PoD) Tiung Biru yang telah disetujui SKK Migas tahun lalu.

Dengan asumsi harga gas bumi sebesar US$ 8 per juta british thermal unit per hari (mmbtud), hasil penerimaan hingga kontrak berakhir pada 2035 mencapai US$ 12,97 miliar. Artinya jatah pemerintah dari penerimaan US$ 5,9 miliar. Meski demikian, Luhut masih belum bisa mengatakan berapa besar jatah pemerintah yang akan dikurangi.

Dalam revisi PoD tersebut, lapangan ini juga sudah mendapatkan insentif kredit investasi sekitar 15 persen dari biaya investasi kapital. Total investasi diproyeksikan sebesar US$2,056 miliar, dengan rincian US$279,5 juta untuk biaya sumur dan US$1,777 miliar untuk fasilitas produksi.

Rencananya kontraktor akan mengebor enam sumur di lapangan ini dengan kapasitas terpasang sebesar 330 juta kaki kubik gas bumi per hari (mmscfd). Lapangan ini ditargetkan mulai produksi pada kuartal pertama 2019 sebesar 227 mmscfd. Produksinya akan mencapai puncak sebesar 315 mmscfd pada 2020.

Namun menurut Direktur UtamaPertamina EP Cepu (PEPC) Adriansyah, pembangunan fasilitas produksi gas Jambaran-Tiung Biru akan selesai 2020. Gas yang bisa terjual juga hanya 172 mmscfd karena 35 persen gas tersebut mengandung karbondioksida (CO2). (Baca: Pengolahan Gas Tiung Biru Blok Cepu Diperkirakan Selesai 2020)

Mahalnya harga, membuat gas dari lapangan tersebut juga belum bisa terjual semua. Awalnya gas ini akan diserap oleh perusahaan induk PEPC, yakni PT Pertamina (Persero), dan Pupuk Kujang Cikampek. Tapi, dalam perkembangannya, Pupuk Kujang membatalkan pembelian gas sebanyak 85 mmscfd. Alasannya, harga yang ditawarkan terlalu mahal.

Harga gas yang dipatok dari Tiung Biru di tingkat hulu sebesar US$ 8 dengan eskalasi 2 persen per mmbtu. Harga ini sudah sesuai dengan PoD lapangan tersebut. Sementara Pupuk Kujang menginginkan harga yang lebih rendah, yakni US$ 7 per mmbtu.

Akhirnya, alokasi gas yang semula untuk PKC ini akan diserap oleh Pertamina. Masalahnya hingga kini belum ada perjanjian jual-beli untuk gas tersebut. Karena Pertamina kesulitan memasarkan kembali gasnya.

Alokasi Pertamina awalnya akan dijual kepada PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebanyak 90 mmscfd, sisanya untuk PT Pertamina Gas (Pertagas). Meski sudah ada kesepakatan (HoA), PLN menyatakan tidak sanggup membeli gas dari Tiung Biru karena dianggap mahal. (Baca: Terkendala Harga, Gas Tiung Biru di Blok Cepu Belum Laku)

“Ini yang membuat Pertamina kesulitan dan saat ini dilakukan kajian ulang terhadap harga,” kata dia kepada Katadata Senin (29/8).