Pemerintah tampaknya belum bisa merealisasikan rencana penurunan harga gas untuk industri. Hingga saat ini, pemerintah masih mengkaji ulang biaya-biaya industri hulu minyak dan gas bumi (migas), yang bisa membuat harga gas bisa turun.
Wakil Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) M.I.Zikrullah mengatakan pihaknya diminta mengkaji potensi apa saja yang bisa dilakukan agar harga gas bisa turun. Hal ini merupakan hasil rapat koordinasi di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Salah satu yang sedang dilakukan adalah dengan menekan biaya di tingkat hulu. SKK Migas diminta meninjau kembali biaya apa saja yang bisa ditekan, agar harga gas bisa menjadi lebih murah.
Dia belum mau menjelaskan biaya apa saja yang bisa ditekan tersebut. Dalam 10 hari ke depan SKK Migas akan menyelesaikan kajian ini. “Kami coba detail satu per satu. Ini arahan pimpinan,” kata dia usai rapat koordinasi tersebut, Senin (29/8).
(Baca: Tim Lintas Kementerian Kaji Ulang Harga Gas Hulu untuk Industri)
Penurunan harga gas termasuk dalam paket kebijakan yang dikeluarkan Presiden Joko Widodo pada Oktober 2015, tapi sampai sekarang belum juga terealisasi. Pemerintah pun sebenarnya telah mengeluarkan dua aturan mengenai hal ini, yakni Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 tahun 2016 dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 16 Tahun 2016.
Dua aturan ini menetapkan harga gas paling tinggi US$ 6 per juta british thermal unit (mmbtu). Harga ini berlaku untuk industri pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan.
Penurunan harga ini sebenarnya sudah berlaku sejak 1 Januari 2016 dan berlaku surut. Namun, saat itu penurunan harga belum bisa terealisasi karena masih menunggu daftar industri yang dikeluarkan Menteri Perindustrian.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto pernah mengusulkan untuk menambahkan tiga sektor lain. Industri tersebut adalah pulp dan kertas, makanan dan minuman, serta industri tekstil dan alas kaki. (Baca: Aturan Terbit, Diskon Harga Gas Bumi Dinikmati Tujuh Industri)
Dia juga mengusulkan harga patokan gas ini bisa lebih rendah lagi dari yang sudah ditetapkan. Harapannya patokan harga gas yang semula US$ 6 per mmbtu, bisa menjadi US$ 4 per mmbtu.
Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil dan Aneka Achmad Sigit Dwiwahjono juga mengatakan daftar industri yang akan mendapatkan penurunan harga gas bisa diubah oleh Menteri ESDM. Kemudian mengenai besaran harga, saat ini masih dikaji oleh SKK Migas mengenai biaya industri hulu migas.
Dia berharap penurunan harga gas tidak ditunda terlalu lama. “Kalau makin lama, industri makin rontok,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Dwi Soetjipto mengatakan rapat koordinasi kemarin belum menemukan hasil. Namun, Pertamina tetap punya komitmen untuk berusaha seefisien mungkin dalam kegiatan operasionalnya, agar harga gas bisa turun.
Menurut Dwi jika Pertamina tidak efisien maka tidak akan bisa berkembang. “Sekarang sedang dilakukan pengkajian untuk bisa mendapat harga yang sebaik-baiknya. Pada kenyataannya kan berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya,” ujar dia.
Berdasarkan data SKK Migas harga gas saat ini masih terlalu tinggi. Di Jawa Timur harganya sekitar US$ 8,01-8,05 per mmbtu dan Jawa bagian Barat di kisaran US$ 9,14-9,18 per mmbtu. Sedangkan harga untuk wilayah Sumatera bisa mencapai US$13,90-13,94 per mmbtu. (Baca: Tiga Syarat untuk Bisa Mendapat Penurunan Harga Gas)
Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, harga gas di Indonesia tiga kali lipat lebih mahal. Beberapa negara lain seperti Jepang, Korea Selatan dan Cina, patokan harga gas hanya sekitar US$ 4-4,55 per mmbtu.