Pemerintah tengah menggodok aturan alokasi minyak mentah yang diproduksi Blok Cepu kepada kilang PT Tri Wahana Universal (TWU). Aturan ini akan dijadikan landasan hukum agar praktik tersebut terhindar dari jeratan hukum di kemudian hari.
Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sujatmiko mengatakan, peraturan yang saat ini dibuat pemerintah akan diselaraskan dengan fatwa hukum dari Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) dan audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). “Intinya yang mau dilakukan pemerintah itu harus ada dasar hukumnya,” kata dia di Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (13/6). (Baca: Pertamina Minta Harga Wajar Penjualan Minyak Blok Cepu ke TWU)
Kementerian ESDM telah mengantongi fatwa Jamdatun mengenai penjualan minyak ke TWU pada 20 Mei lalu. Inti dari fatwa Jamdatun tersebut adalah pemerintah memiliki kewenangan menetapkan harga untuk kilang TWU.
Fatwa itu juga menegaskan tidak ada aturan yang dilanggar jika pemerintah memberikan harga lebih murah bagi kilang mini tersebut. Mengingat sampai saat ini belum ada aturan mengenai praktik tersebut. Kewenangan pemerintah sesuai dengan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang migas.
Dalam laporan hasil auditnya, anggota VII BPK Achsanul Qosasi mengatakan, BPK mengakui tidak ada kerugian negara dalam penjualan minyak mentah dari Blok Cepu ke Kilang TWU. Meskipun harga penjualan minyak di bawah harga minyak Indonesia (ICP). “Bukan kerugian negara. Ada potensi penerimaan yang hilang saja,” ujarnya. (Baca: BPK Akui Tak Ada Kerugian Negara dalam Penjualan Minyak Blok Cepu)
Potensi penerimaan negara yang hilang tidak mencapai triliunan rupiah. Namun, dia tidak mau menyebutkan angka pastinya. Sumber Katadata di industri migas menyatakan, hasil awal audit BPK menemukan potensi kerugian negara sebesar US$ 3,6 juta atau sekitar Rp 47 miliar dari penjualan minyak Blok Cepu kepada TWU sepanjang periode April–Desember 2015.
Selain diselaraskan dengan fatwa Jamdatun dan temuan BPK, bakal beleid tersebut juga mengatur kilang-kilang mini lain yang dibangun di lapangan marjinal. Lapangan marjinal adalah suatu lapangan minyak yang berdasarkan syarat dan ketentuan kontrak bagi hasil yang berlaku belum ekonomis untuk dikembangkan, meskipun statusnya sudah berproduksi.
Dengan aturan tersebut diharapkan bisa meningkatkan perekonomian daerah. ”Cadangan marjinal yang tidak ekonomis itu sebenarnya memberikan manfaat kepada masyarakat. Menteri ESDM mendorong dan sepakat dengan usulan bupati untuk meningkatkan potensi Badan Usaha Milik Negara,” ujar Sujatmiko. (Baca: Pengembangan Kilang Mini Terancam Seretnya Pasokan Minyak)
Saat ini ada delapan lapangan marjinal yang berpotensi mengembangkan kilang mini. Klaster pertama Sumatera Utara (Rantau dan Pangkalan Susu). Kedua, Selat Panjang Malaka (EMP Malacca Strait dan Petroselat). Ketiga, Riau (Tonga, Siak, Pendalian, Langgak, West Area, Kisaran).
Keempat, Jambi (Palmerah, Mengoepeh, Lemang, dan Karang Agung). Kelima, Sumatera Selatan (Merangin II dan Ariodamar). Keenam, Kalimantan Selatan (Tanjung). Ketujuh, Kalimantan Utara (Bunyu, Sembakung, Mamburungan dan Pamusian Juwata). Kedelapan, Maluku (Oseil dan Bula).
Aturan ini, menurut Sujatmiko, akan segera terbit sehingga dapat memaksimalkan potensi yang ada. “Kami tidak akan menunda untuk melaksanakannya. Apalagi semangat kami untuk memenuhi target lifting minyak dan sebagainya,” ujar dia.