Setelah menunggu hampir tiga bulan, PT Pertamina (Persero) akhirnya mendapat persetujuan dari pemerintah mengenai perubahan kontrak Blok West Madura Offshore (WMO). Persetujuan perubahan kontrak tersebut tercantum dalam surat bernomor 3986/12MEM.M/2016.
Dalam salinan surat tersebut yang diperoleh Katadata, ada dua poin perubahan ketentuan kontrak yang disetujui pemerintah. Pertama, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said menyetujui skema blok basis terbatas berlaku di Blok WMO khusus untuk kegiatan pengeboran sumur eksplorasi. (Baca: Pelaku Migas Butuh Insentif Country Basis Untuk Dorong Eksplorasi)
Kedua, dalam kontrak baru Blok WMO ini ada perubahan kategori biaya pengeluaran pengeboran sumur yang tidak tampak (Intangible Development Drilling Cost/IDDC). Biaya yang sebelumnya masuk dalam biaya modal (capital cost), diubah menjadi bukan modal (noncapital cost).
Hal ini mengacu ketentuan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2010 tentang biaya operasi yang dapat dikembalikan dan perlakuan pajak penghasilan di bidang usaha hulu migas. Pada aturan ini IDDC memang sudah dimasukkan dalam biaya bukan modal.
Dalam pasal 1 ayat 9 disebutkan, biaya bukan modal adalah biaya yang dikeluarkan pada kegiatan operasi tahun berjalan, mempunyai masa manfaat kurang dari satu tahun. Yang termasuk dalam biaya ini adalah survei dan intangible drilling cost.
Sementara pengertian biaya modal adalah pengeluaran yang dilakukan untuk peralatan atau barang. Mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun dan dibebankan pada tahun berjalan melalui penyusutan.
Direktur Hulu Pertamina Syamsu Alam mengatakan perubahan kategori biaya IDDC dari biaya kapital ke nonkapital, hanya dalam sistem akutansi. Namun, hal ini juga akan berimbas kepada arus kas perusahaan. Jika biaya IDDC dimasukkan dalam biaya modal, akan terkena depresiasi sebelum mendapat cost recovery. Sedangkan jika non kapital akan berlaku sebaliknya.
Sementara skema ring fencing atau perhitungan pendapatan dan biaya juga berubah dari PoD Basis ke Blok Basis terbatas. Artinya selama dalam satu blok sudah ada yang berstatus produksi, lapangan lain yang masih berstatus eksplorasi juga bisa berubah statusnya menjadi produksi. Dengan demikian seluruh kegiatan di blok tersebut, termasuk pengeboran sumur eksplorasi, bisa mendapatkan penggantian biaya operasi atau cost recovery.
“Selama rencana kerja dan anggaran perusahaan serta Authorization for Expenditure atau hak pengeluarannya sudah mendapat persetujuan SKK Migas,” kata Syamsu kepada Katadata, Selasa (18/5). (Baca: Lelang Blok Migas 2016, Kontraktor Bisa Tawar Besaran Bagi Hasil)
Kontrak Blok WMO ditandatangani 7 Mei 2011 dan berlaku hingga 6 Mei 2031. Pertamina melalui anak usahanya yakni PT Pertamina Hulu Energi memiliki hak kelola 80 persen. Sisanya dipegang oleh Kodeco Energy Co., Ltd. sebesar 10 persen dan PT Mandiri Madura Barat 10 persen. Dalam rencana kerja dan anggaran perusahaan di 2016, target produksi minyak sebesar 10.007 barel per hari (bph). Target produksi gasnya 102,3 juta kaki kubik per hari (mmscfd). (Baca: Harga Minyak Dekati US$ 50, Industri Hulu Migas Bisa Bergairah)
Menurut Senior Vice President pada Upstream Strategic Planning and Operation Evaluation Pertamina Meidawati Blok WMO memiliki potensi penurunan produksi (decline) yang tinggi. Setiap tahun, terjadi penurunan produksi sebesar 38 persen. "Makanya yang diperlukan adalah kegiatan eksplorasi untuk dikembangkan menjadi produksi," ujarnya.