KATADATA -  Belum genap dua pekan pemerintah mengeluarkan aturan mengenai pembangunan kilang minyak di dalam negeri, beleid tersebut mendapat sorotan dari para pemodal. Investor swasta yang ingin membangun fasilitas pengolahan minyak ini menyoroti pembeli produk kilang tersebut. Peraturan Presiden Nomor 146 Tahun 2015 ini, menurut mereka, tidak memberi jaminan bisnis.

Project Manager PT Kreasindo Resources Indonesia Ahmad Fenoza mengatakan sampai saat ini investor tidak mendapat kepastian pihak yang akan menampung produksi minyak mereka. Padahal, investasi dalam membangung fasilitas ini tidaklah sedikit. Rencananya, PT Kreasindo Resources akan membangun kilang di Situbondo, Jawa Timur dengan kapasitas 150 ribu barel per hari (bph). Investasinya kurang lebih US$ 5,5 miliar atau sekitar Rp 76 triliun, setara dengan nilai pembangunan kereta cepat Jakarta - Bandung. Konstruksi diprediksi pada awal tahun depan. (Baca: Perpres Kilang Terbit, Pemerintah Janjikan Insentif dan Jaminan).   

Sebelum kilang tersebut dibangun, Ahmad meminta pemerintah telah menetapkan pembeli atau offtaker minyak kilangnya. Dalam hal ini, PT Pertamina diminta untuk menyerap produk kilang swasta. Sebab, dengan begitu akan mengurangi impor Bahan Bakar Minyak. "Kami mau Pertamina menjadi pembeli, supaya memberi kontribusi terhadap perminyakan Indonesia," kata Ahmad saat dihubungi Katadata, Kamis, 28 Januari 2016.

Senada dengan Ahmad, Direktur Utama PT Indo Kilang Prima Bun Sentoso juga khawatir dengan proyek kilangnya. Dia cemas setelah kilang terbangun tidak ada pembeli. PT Indo Kilang Prima akan membangun kilang di Padang Lawas, Sumatera Utara dengan kapasitas enam ribu bph. Investasi yang dibutuhkan US$ 54 juta.

Selain masalah pembeli, dia mengatakan kendala lain dalam membangun kilang yaitu terkait pasokan bahan bakunya. Awalnya, kilang ini akan dipasok oleh PT EMP Tonga. Sayangnya, produksi EMP terus menurun sehingga pasokannya juga berkurang. Untuk mengatasi masalah tersebut, dia meminta bantuan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) agar dapat asupan dari PT  SPE Petroleum Ltd, PT Sarana Pembangunan Riau Langgak (SPRL), dan PT Pasific Oil & Gas  (POG).

“Kilang swasta butuh didukung terutama dari segi kepastian pasokan dan kepastian pembeli. Bisa saja kami membangun kilang, tapi produknya tidak ada yang membeli,” kata dia saat dihubungi Katadata, Selasa, 19 Januari 2016. (Baca: Investor Jepang Batal Danai Pengembangan Kilang Balikpapan).

Meski ada kritik dari investor, pemerintah menganggap beleid tersebut sudah mengatur mengenai pembelian produk kilang minyak. Menurut Direktur Pembinaan Hilir Direktorat Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Setyo Rini Tri Hutami, PT Pertamina bisa menjadi pembeli produk kilang swasta, tapi bukan sebagai kewajiban.

Skema yang dipakai antara pemilik kilang dan Pertamina menggunakan pola bisnis biasa. "Dalam Peraturan Presiden tersebut bunyinya 'dapat' menjadi offtaker, bukan 'wajib' menjadi offtaker. Mekanismenya business to business," kata dia kepada Katadata, Senin pekan lalu.

Klausul tersebut tercantum dalam Pasal 28. Di sana disebutkan PT Pertamina dapat bertindak sebagai pembeli bahan bakar minyak (BBM) atau produk lainnya dalam hal pembangunan kilang minyak dan pengembangan kilang minyak dilakukan oleh badan usaha. (Baca : Jadi Offtaker, Pertamina Minta Saham di Kilang Swasta).

Sementara untuk kilang yang dibangun melalui skema kerja sama pemerintah-badan usaha dan skema penugasan, menteri dapat menugaskan Pertamina bertindak sebagai pembeli BBM dan produk lainnya dengan harga keekonomian. Nilai keekonomian yang dimaksud merupakan harga yang diperhitungkan berdasarkan pengembalian nilai investasi dan keuntungan yang wajar atas pembangunan atau pengembangan kilang minyak. Besarannya ditetapkan oleh Menteri Energi dan Menteri Keuangan.

Reporter: Anggita Rezki Amelia