Pastikan Harga Premium Turun, Menteri ESDM Bahas dengan Jokowi

BBM Subsidi KATADATA | Arief Kamaludin
KATADATA | Arief Kamaludin
Penulis: Yura Syahrul
22/12/2015, 15.01 WIB

KATADATA - Jika tak ada aral melintang, pemerintah akan menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada awal Januari tahun depan. Namun, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) masih menghitung besaran penurunan harga BBM jenis Premium dan Solar tersebut.

Menteri ESDM Sudirman Said  mengaku akan mendiskusikan rencana penurunan harga BBM bersubsidi tersebut dengan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam waktu dekat ini. "Saya akan berdiskusi dengan Presiden dan Wapres. Tapi hampir bisa dipastikan harga BBM (bersubsidi) akan diturunkan,” kata Sudirman dalam acara temu media di Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, Jakarta, Selasa (22/12).

Namun, dia belum bisa menyebutkan besaran penurunan harga BBM bersubsidi karena masih dalam tahap pembahasan. Yang jelas, kecenderungan harga minyak dunia belakangan ini terus menurun, bahkan penurunannya cukup tajam. Sekadar informasi, harga minyak dunia jenis WTI maupun Brent di pasar spot pada pekan lalu telah menyentuh level US$ 36-37 per barel. Jika mengikuti harga keekonomiannya, lanjut dia, logikanya harga BBM bersubsidi tentu harus diturunkan.

Terkait metode dan waktu perhitungannya, pemerintah sudah sepakat setiap tiga bulanan. “Makanya Januari (tahun depan), kami menentukan harga baru (BBM bersubsidi),” kata Sudirman.

(Baca: Dua Syarat Terpenuhi, Harga Premium Bisa Turun Awal 2016)

Harga Premium untuk wilayah Jawa Madura dan Bali (Jamali) saat ini sebesar Rp 7.400 per liter dan luar Jamali sebesar Rp 7.300 per liter. Sementara harga Solar bersubsidi sebesar Rp 6.700 per liter.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian ESDM I.G.N. Wiratmaja Puja menyatakan, harga minyak selama tiga bulan terakhir berdasarkan hitungan Kementerian ESDM relatif lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya. Jika mengacu pada data organisasi negara-negara pengekspor minyak atau Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEXC), harga rata-rata bulanan minyak dunia periode Oktober-Desember 2015 masing-masing sebesar US$ 45,02; US$ 40,50; dan US$ 36,13 per barel. Jadi, rata-rata harga minyak pada periode itu sekitar US$ 40,55 per barel. Adapun rata-rata harga minyak dunia pada periode Juli-September 2015 sebesar US$ 48,16 per barel.

(Baca : Terendah Sejak 2009, Harga Minyak Tahun Depan Bisa US$ 20)

Dalam menghitung harga BBM bersubsidi, pemerintah menggunakan dua indikator. Selain harga minyak dunia, pemerintah memperhitungkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Kalau melongok pergerakan rupiah dalam tiga bulan terakhir, yaitu 24 September lalu hingga Senin lalu (21/12), nilai tukar rupiah di pasar spot menguat 5 persen terhadap dolar AS. Sebaliknya, pada periode 24 Juni-24 September 2015, rupiah malah melemah 10,4 persen terhadap dolar AS.

Meski begitu, menurut Sudirman, pemerintah sebenarnya memiliki opsi selain menurunkan harga BBM mengikuti harga keekonomiannya saat ini. Yaitu, memupuk dana ketahanan energi sesuai dengan amanat Undang-Undang Energi.

(Baca: DPR Tak Percaya Perhitungan Pertamina Soal Harga Premium)

Ia menilai, anjloknya harga minyak saat ini dapat dijadikan momentum untuk membentuk dana ketahanan energi, alih-alih menurunkan harga BBM bersubsidi. Pasalnya, hingga saat ini pemerintah belum mengalokasikan dana pengurasan energi fosil yang dapat digunakan untuk pembangunan yang mendatangkan manfaat berkelanjutan.

Melalui skema tersebut, perlu membuat batas atas dan batas bawah harga BBM. Artinya, jika harga minyak dunia berada di batas bawah maka surplus harga BBM terhadap harga keekonomiannya bisa disimpan dalam Dana Ketahanan Energi. Sedangkan jika harga minyak dunia berada di batas atas maka dana tersebut bisa dipakai untuk menutup kekurangan harga BBM itu terhadap harga keekonomiannya. "Menurut saya itu opsi yang paling pas untuk diterapkan," tandas Sudirman.

Reporter: Miftah Ardhian