KATADATA - Tahun ini bisa dianggap tahun yang berat untuk industri hulu minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia. Harga minyak yang mencapai US$ 100 per barel pada 2014, kini tidak bisa dinikmati lagi oleh kontraktor migas.
Sejak Juli 2014 harga minyak mentah terus merosot hingga hari ini di bawah US$ 37 per barel. Sejumlah analis bahkan memperkirakan harga minyak dunia tahun depan bisa menyentuh level US$ 20 per barel. (Baca: Terendah Sejak 2009, Harga Minyak Tahun Depan Bisa US$ 20)
Direktur Hulu PT Pertamina (Persero) Syamsu Alam mengatakan anjloknya harga minyak dunia ikut menggerus penerimaan di sektor hulu. Keuntungan yang didapat Pertamina dari menjual minyak pun semakin menipis, lantaran selisih biaya dan harga jual minyak juga semakin mengecil.
Menurutnya, rata-rata biaya produksi migas Pertamina sebesar US$ 20 per barel. “Jadi (dengan harga US$ 37 per barel) kami masih dapat memproduksi migas walaupun profitnya akan turun,” kata dia kepada Katadata, Jumat (11/12). (Baca: Lima Kontraktor Melepas Saham di Banyak Blok Migas)
Dia juga sangat yakin Pertamina mampu bertahan dengan kondisi harga minyak yang rendah saat ini. Dalam sejarah, Pertamina masih bisa mempertahankan bisnisnya saat harga minyak dunia jatuh hingga ke level US$ 10 per barel. Pertamina terus mencari strategi efisiensi melalui inovasi. Dengan begitu lapangan-lapangan yang biaya produksinya tinggi dapat diturunkan.
Tidak hanya Pertamina, dampak penurunan harga minyak juga dirasakan perusahaan migas asal Amerika Serikat ExxonMobil. Vice President Public and Government Affair ExxonMobil Indonesia pihaknya terus melakukan evaluasi bisnis terkait harga minyak setiap tahunnya. Namun, dia belum bisa memastikan upaya apa yang akan dilakukan untuk mengahadapi tren penurunan harga tahun depan. (Baca: Kontraktor Migas Rugi Rp 96 Triliun Dalam Empat Tahun)
Evaluasi dilakukan dengan rencana investasi dengan berbagai skenario harga. “ExxonMobil percaya bahwa mekanisme harga akan terus ditentukan oleh permintaan dan penawaran, dan dipengaruhi juga oleh perkembangan ekonomi global,” ujarnya.
Sementara, Wakil Ketua Indonesian Petroleum Association (IPA) Sammy Hamzah mengatakan kemampuan perusahaan migas beradaptasi dengan harga minyak dunia cukup baik. Namun, belum tentu semua perusahaan bisa menghadapi risiko ini. Karena daya tahan masing-masing perusahaan bervariasi. (Baca: Tahun Depan Gelombang PHK Migas Kembali Terjadi)
Dengan harga minyak yang rendah saat ini, kontraktor bisa pindah ke bisnis lain atau tetap bertahan. “Yang pure eksplorasi itu bisa saja tumbang,” ujar dia.
Menghadapi kondisi tersebut, pemerintah juga tengah menyiapkan beberapa insentif untuk industri hulu migas. Hanya saja sampai saat ini Direktur Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) I.G.N. Wiratmaja Puja masih enggan menjelaskan insentif tersebut. “Paket kebijakan tentang hal ini nanti akan disampaikan pada waktunya,” kata dia. (Baca: SKK Migas Usul Sejumlah Insentif untuk Industri Migas)