KATADATA - Industri minyak dan gas bumi (migas) khususnya di sektor hulu memiliki karakteristik modal besar dan risiko yang tinggi. Meski telah mengeluarkan banyak biaya, belum tentu perusahaan bisa cepat mendapat untung. Bahkan bisa saja rugi dan tidak mendapatkan apa-apa.
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencatat dalam empat tahun terakhir, ada lebih dari US$ 7 miliar atau sekitar Rp 96 triliun investasi migas hilang begitu saja, tanpa menghasilkan apa-apa. Dana ini dikeluarkan oleh perusahaan untuk melakukan eksplorasi pengeboran sumur-sumur migas di dalam negeri. Namun, kegiatan eksplorasi gagal, tidak menemukan cadangan migas, atau jika ditemukan pun tidak ekonomis untuk dikembangkan.
Uang yang sangat besar menjadi kerugian bagi pengusaha, tanpa diganti oleh pemerintah. Aturan yang ada di Indonesia, perusahaan bisa melakukan eksplorasi migas dengan biayanya sendiri terlebih dahulu. Jika kegiatan eksplorasinya berhasil, pemerintah akan mengganti biaya investasi yang telah dikeluarkan lewat cost recovery. Namun jika gagal, perusahaan tersebut harus menanggungnya sendiri.
Deputi Pengendalian Dukungan Bisnis, SKK Migas Rudianto Rimbono menganggap uang yang hilang di industri migas ini bukanlah suatu kerugian. Kegiatan eksplorasi memang memerlukan dana yang besar. Eksplorasi ini sangat diperlukan untuk memperoleh data sumber migas yang potensial untuk bisa diproduksi. "Ini part of the game (bagian dari permainan), bukan rugi," ujarnya saat mengisi acara diskusi hulu migas di Universitas Indonesia, Depok, kemarin (25/11). Makanya, investor harus memiliki nafas panjang jika ingin berinvestasi di industri migas. (Baca: Sudirman Said Akui Investasi Migas di Indonesia Kurang Menarik)
Biasanya perusahaan migas yang telah melakukan pengeboran salah satu sumur dan hasilnya nihil atau dry hole, semangatnya langsung turun. Padahal batas waktu yang diberikan pemerintah untuk masa eksplorasinya masih panjang dan masih ada potensi migas yang dapat dikembangkan. Makanya pemerintah mengizinkan perusahaan migas tersebut untuk membagi risiko dengan menawarkan kepada investor lain untuk ikut dalam kegiatan migasnya lewat farm out.
Farm out adalah pengalihan interest dari pemegang wilayah kerja yang ada ke perusahaan lain atau bentuk konsorsium. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Sejak 2012 diadakan Farm Out Forum Indonesia (FFI), sebagai sarana bertukar informasi perusahaan migas yang ingin mengajak investor lain untuk bergabung dalam kegiatan operasinya. Forum ini juga bisa menjadi sarana bagi perusahaan migas untuk melepas kepemilikan sahamnya pada suatu blok migas.
Ajang ini selalu ramai diikuti oleh perusahaan migas. Saat pertama kali forum ini diselenggarakan ada sekitar 56 perusahaan yang menawarkan saham blok migasnya kepada perusahaan lain. Sementara investor yang berminat mencapai 85 perusahaan. Saat itu ada 20 kesepakatan bisnis yang dihasilkan dalam forum tersebut. (Baca: Cadangan Minyak Makin Menipis)
Tahun lalu sebanyak 61 blok yang ditawarkan farm out dan berhasil terjadi kesepakatan bisnis 5 blok. Sementara untuk tahun 2015, sebanyak 50 blok ditawarkan farm out dan hanya 5 blok saja yang terjadi kesepakatan bisnis. “Maksimal (kepemilikan saham yang dijual) 49 persen,” kata Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Djoko Siswanto, kepada Katadata.Setahun kemudian mulai redup. Antusias perusahan yang mengikuti Farm Out Forum Indonesia 2013 sebenarnya masih besar, mencapai 47 perusahaan yang menawarkan bloknya. Bahkan saat itu FFI digelar dua kali yakni pada Maret dan September. Namun karena peminatnya sedikit, hanya menghasilkan lima kesepakatan bisnis.
Tidak hanya melepas kepemilikan sahamnya, saat ini banyak juga perusahaan yang memutuskan untuk mengurangi kegiatan eksplorasi. Salah satu penyebabnya adalah harga minyak dunia yang sedang rendah. Apalagi rata-rata harga minyak tahun ini sudah di bawah US$ 40 per barel, tidak sampai setengah dari rata-rata harga tahun lalu. Apalagi asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 pun hanya US$ 50 dolar. Melihat tren perkembangan harga minyak, kemungkinan kegiatan eksplorasi tahun depan pun akan kembali berkurang.Ini menunjukkan dalam tiga tahun terakhir banyak kontraktor yang ingin melepas kepemilikannya. Namun, perusahaan yang berminat justru sedikit. Di luar FFI, banyak juga kontraktor yang telah berencana menjual saham blok migasnya. Data yang dihimpun Katadata, dalam tahun ini ada tiga perusahan yang akan melepas kepemilikannya pada lima blok migas. Tiga perusahaan tersebut adalah ConocoPhillips, Chevron Pacivic, dan anak usaha PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. PT Saka Energi Indonesia.
Meski demikian, Tenaga Ahli Tim Harga Minyak Mentah Kementerian ESDM Maizar Rahman optimistis harga minyak tahun depan akan naik. Menurutnya, ada tiga faktor yang bisa mempengaruhi kenaikan harga minyak dunia dalam periode 2015 sampai 2020. Pertama dari sisi permintaan yang kemungkinan meningkat karena pertumbuhan ekonomi dunia yang diperkirakan membaik. Kedua, biaya produksi minyak serpih (shale oil) rata-rata US$ 65 per barel. Ketiga geopolitik, dimana ketegangan timur tengah dan konflik nigeria masih tinggi.
Meski harga minyak sedikit merangkak naik tahun depan, belum tentu minat investor menanamkan modalnya di sektor migas dalam negeri naik. Rudianto mengakui ada beberapa kendala yang menghambat minat investor migas masuk ke Indonesia, salah satunya masalah regulasi. Menurut dia banyak peraturan khususnya peraturan daerah yang tidak harmonis dengan aturan di tingkat pusat. “Seharusnya aturan tersebut dipermudah mengingat pemerintah juga membutuhkan migas. Apalagi, saat ini cadangan minyak terus menipis,” ujarnya. (Baca: Kementerian ESDM Akan Pangkas Izin Migas dari 42 Jadi Empat Jenis)