DPR Tak Percaya Perhitungan Pertamina Soal Harga Premium

Arief Kamaludin|KATADATA
BBM---------------------Arief Kamaludin|KATADATA
Penulis: Safrezi Fitra
20/10/2015, 12.01 WIB

KATADATA - Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menganggap PT Pertamina (Persero) tidak transparan dalam perhitungan harga bahan bakar minyak (BBM) Premium. Dengan kondisi harga minyak yang rendah dan adanya tren penguatan nilai tukar saat ini, seharusnya harga Premium bisa turun, seperti solar dan Elpiji.

“PLN turunkan tarif listrik karena harga minyak mentah dan kurs. Elpiji juga dengan pertimbangan yang sama turun. Begitu sampai di Premium kok enggak turun. Ini yang seolah-olah tidak sinkron (perhitungannya),” kata Ketua Komisi VII Kardaya Warnika, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Direksi Pertamina dan SKK Migas di Gedung DPR Jakarta, Senin (19/10).

(Baca: Harga Solar Turun, Pertamina Masih Dapat Untung)

Dalam rapat tersebut Komisi VII meminta Pertamina membuat perhitungan kembali harga Premium untuk setiap liternya. Kardaya meminta perhitungan ini dijelaskan lebih rinci mengenai komponen pembentuk harga Premium, mulai dari biaya hingga diskon yang didapat dari perolehan BBM tersebut.

"Premium ini menyangkut hajat hidup orang banyak, jadi harus transparan. Artinya rakyat dan konsumen bisa perkirakan akan naik atau turun. Minimal itu, parameter transparan," ujarnya.

Dari hitung-hitungan versi Kardaya, harga Premium seharusnya hanya Rp 6.400 liter. Perhitungan harga ini lebih rendah dari harga Premium yang ditetapkan Pertamina sekarang, yakni sebesar Rp 7.400 per liter untuk daerah Jawa, Madura, dan Bali (Jamali).

(Baca: Harga Solar dan Gas Industri Turun, Tarif Listrik Diberi Diskon)

Perhitungan Kardaya didasarkan pada harga BBM yang ada di bungker Singapura sebesar US$ 60 per barel. Jika dikonversi ke rupiah, harganya hanya Rp 5.094 per liter. Ditambah ongkos angkut ke Indonesia, harganya menjadi Rp 5.264 per liter.

"Kalau ditambah PPN (pajak pertambahan nilai) 10 persen dan pajak lainnya katakanlah 10 persen lagi, jatuhnya Rp 6.400 sekian. Kemudian ditambah margin SPBU (stasiun pengisian bahan bakar umum) jadi Rp 6.500 per liter," ujarnya.

Sementara Pertamina menyatakan perhitungan harga BBM saat ini sudah cukup transparan. Bahkan, dengan harga Premium sekarang, Pertamina mengaku masih mengalami rugi sebesar 2 persen. Direktur Pemasaran PT Pertamina Ahmad Bambang mengatakan seharusnya harga Premium di luar Jamali sebesar Rp 7.428 per liter. Namun, harga jual yang berlaku saat ini hanya Rp 7.300 per liter.

(Baca: Kalau Harga BBM Turun, Pertamina Minta Pengurangan Dividen)

Ahmad menjelaskan perhitungan harga Premium menggunakan acuan harga pasar Mean of Plats Singapore (MOPS). Dalam sebulan terakhir, harga rata-rata Mogas 92 atau bensin dengan nomor oktan (RON) 92 sebesar US$ 60,26 per barel. Harga acuan Premium yang menggunakan RON 88, ditetapkan 98,4 persen dari harga RON 92, yakni US$ 59,31 per barel. Jika dikonversi ke rupiah (dengan rata-rata kurs Rp 14.196 per dolar Amerika Serikat), harga MOPS RON 88 menjadi Rp 5.295 per liter.   

Harga MOPS masih harus ditambahkan dengan biaya pengapalan dan alpha impor sebesar 3,92 persen. Kemudian ditambah lagi biaya penyimpanan (storage), biaya inventory, biaya angkut ke SPBU, dan margin SPBU. Total tambahan biaya ini mencapai Rp 830 per liter, sehingga harga pokoknya menjadi Rp 6.333 per liter. Tambahan biaya lain yang harus dikeluarkan adalah biaya penugasan ke seluruh pelosok Indonésia 2 persen, sehingga harganya menjadi Rp 6.459 per liter.

“Ditambah PPN 10 persen dan PBBKB (pajak bahan bakar kendaraan bermotor) 5 persen, sehingga harga jual di luar Jamali Rp 7.428,6 per liter. Padahal Pertamina jualnya hanya Rp 7.300 per liter," ujar Ahmad.

Meski demikian, Komisi VII masih belum puas dengan perhitungan harga yang dijelaskan oleh Pertamina. Kardaya pun meminta penjelasan lebih lanjut kepada Pertamina pada rapat panitia kerja (panja) selanjutnya. Pertamina diminta menjelaskan secara lebih rinci lagi formula penentuan harga BBM Premium. Jika Pertamina merasa dirugikan dengan menjual Premium, seharusnya tidak dibebankan kepada masyarakat.

Reporter: Anggita Rezki Amelia