Ketua MPR Bambang Soesatyo menyesalkan sikap lamban dan minimalisnya Kementerian Luar Negeri dalam merespons peristiwa kematian anak buah kapal (ABK) asal Indonesia akibat perbudakan di kapal penangkap ikan Tiongkok, Long Xing 629.
"Tidak hanya minimalis, Kemenlu juga tidak responsif mengurusi aspek administratif bagi para ABK yang meninggal itu. Akibat kelambanan dan sikap minimalis itu, para almarhum dan keluarganya tidak mendapatkan perlakuan yang layak," kata Bamsoet dalam keterangan tertulisnya Minggu (10/5).
Dia menilai akibat sikap Kemenlu itu, masyarakat baru mengetahui peristiwa pelarungan jenazah dan eksploitasi ABK WNI itu pada pekan kedua bulan Mei 2020. Padahal peristiwa kematian dan pelarungan tiga ABK WNI itu terjadi pada Desember 2019 dan Maret 2020.
"Lagi pula viralnya peristiwa ini bukan karena inisiatif institusi pemerintah berbagi informasi kepada masyarakat. Tetapi, karena pemberitaan pers Korea Selatan dan aksi warganet memviralkannya," ujarnya.
(Baca: ABK Indonesia Diduga Alami Perbudakan di Kapal Tiongkok)
Bamsoet mengungkapkan bahwa berdasarkan informasi dari kolega para korban diperoleh informasi bahwa laporan tentang peristiwa kematian dan pelarungan jenazah ABK WNI di kapal ikan Long Xing 629 sudah masuk dan diterima Kemenlu sejak Desember 2019.
Bahkan menurut dia, kolega almarhun sudah mendatangi Kemenlu, selain melaporkan identitas para ABK yang meninggal, mereka juga meminta Kemenlu mendesak KBRI Seoul di Korsel untuk mengeluarkan atau menerbitkan Surat Keterangan Kematian untuk keperluan asuransi ketiga almarhum.
"Surat ini penting karena asuransi di Indonesia baru bisa membayar asuransi ketiga almarhum jika ada Surat Keterangan Kematian yang diterbitkan oleh Kementerian Luar Negeri RI cq KBRI," katanya.
Namun menurut dia, permintaan surat keterangan tersebut sama sekali tidak direspons Kemenlu sejak Desember 2019, akibatnya asuransi para almarhum tidak bisa diurus selama berbulan-bulan.
(Baca: Soroti Dugaan Perbudakan ABK Indonesia, Susi Angkat Kasus Benjina)
Dia mengatakan, untuk membantu keluarga almarhum yang pasti mengalami kesulitan, para kolega hanya bisa memberi sebagian dari total Rp 150 juta nilai asuransi.
"Ketika informasi kematian dan pelarungan jenazah tiga ABK WNI itu mulai viral di dalam negeri, baru Kemenlu dan KBRI Seoul bergerak menerbitkan Surat Keterangan Kematian itu. Cara kerja seperti ini tentu saja sangat mengecewakan, karena bisa menumbuhkan citra yang negatif bagi pemerintah," ujarnya.
Dia menegaskan bahwa seharusnya ketika ada WNI yang meninggal di negara lain akibat eksploitasi, Kemenlu dan KBRI hendaknya responsif untuk menunjukan kehadiran negara dan pemerintah.
(Baca: Sejumlah ABK Indonesia Mengalami Perbudakan di Kapal Milik Tiongkok)