Pemerintah menyebut serius tangani kasus dugaan eksploitasi Anak Buah Kapal (ABK) Indonesia. Di antaranya dengan melaporkan kasus tersebut ke Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (Dewan HAM PBB) setelah adanya laporan dugaan eksploitasi ABK Indonesia di Kapal Tiongkok Long Xing 629.
"Pemerintah serius mengusut dugaan eksploitasi ABK Indonesia," kata Juru Bicara Presiden Bidang Hukum Dini Purwono seperti dikutip dari siaran pers, Kamis (14/5).
Pada 8 Mei 2020 di Jenewa, Dewan HAM PBB membahas upaya global dalam memberikan jaminan perlindungan HAM dalam penanganan Covid-19. Dalam kesempatan tersebut, Perwakilan Indonesia Duta Besar Hasan Kleib lantas meminta Dewan HAM memberi perhatian kepada pekerja industri perikanan.
(Baca: Delegasi RI Sampaikan Kasus Perbudakan ABK kepada Dewan HAM PBB )
Pemerintah mengingatkan pentingnya peran Dewan HAM untuk memberikan perlindungan kepada kelompok rentan, salah satunya para ABK yang bekerja di industri perikanan. Perlindungan kepada pekerja industri perikanan dinilai penting, sebab industri tersebut menjadi salah satu kunci rantai pangan dan pasokan global, terutama di tengah pandemi Covid-19.
Upaya hukum tengah ditempuh oleh pemerintah, baik dari dalam negeri maupun melalui pemerintah Tiongkok. Di dalam negeri, kepolisian tengah mengejar pihak yang diduga terlibat sebagai penyalur tindak perdagangan orang.
Saat ini, Direktorat Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI telah membuka kasus ini dengan dugaan tindak pidana perdagangan orang. "Mereka akan menelurusi pihak penyalur tenaga kerja," kata Dini.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi memastikan hak para ABK akan terpenuhi. Kasus tersebut juga tengah diproses oleh pemerintah Negei Panda.
"Kemarin, Menlu (Tiongkok) memfasilitasi pertemuan antara perusahaan dan keluarga ABK untuk memastikan penyelesaian hak finansial dan memberikan klarifikasi terkait penguburan di laut tersebut," kata Retno.
Sebelumnya, terungkap dugaan eksploitasi dan perbudakan yang dialami para ABK asal Indonesia di kapal Tiongkok Long Xing 629. Kasus tersebut menjadi sorotan karena tiga dari empat jenazah ABK Indonesia dilarung di laut.
(Baca: Delegasi RI Sampaikan Kasus Perbudakan ABK kepada Dewan HAM PBB )
Informasi awal tindak ekspoitasi ini sebelumnya datang dari laporan kantor berita Korea Selatan, MBC News, pada Rabu (6/5). Kantor berita itu menayangkan video jenazah ABK asal Indonesia bernama Ari yang dibuang ke laut.
Pewarta MBC News menyebutkan video itu diperoleh dari ABK asal Indonesia ketika kapal ikan berlabuh di Pelabuhan Busan, Korea Selatan pada 14 April 2020. Selain kasus Ari, terdapat dua ABK lain yang meninggal dan jenazahnya dibuang ke laut yakni Sepri dan M Alfatah.
Belakangan diketahui bahwa Effendi Pasaribu meninggal di sebuah rumah sakit di Busan. Sedangkan, Effendi meninggal saat menunggu giliran pulang ke Indonesia setelah bekerja 14 bulan.
Effendi didiagnosa meninggal karena sakit pneumonia. Seorang ABK juga memberikan kesaksian mendapat perlakuan buruk selama bekerja di kapal Long Xin 629.
Para pekerja dipaksa bekerja selama 18 jam sehari, bahkan ada yang dipaksa bekerja hingga 30 jam. Sehingga banyak ABK yang sakit dan meninggal dunia. Mereka hanya diberikan istirahat selama enam jam sehari untuk kesempatan tidur dan makan.
Setelah bekerja selama 13 bulan di laut, para ABK tersebut hanya mendapat upah US$ 120 per orang atau Rp 1,8 juta (asumsi kurs Rp 15.000). Artinya, setiap orang hanya menerima kurang lebih Rp 138.000 per bulan selama 13 bulan berada di laut.