Janji Kampanye Anies & Dampak Lingkungan di Balik Izin Reklamasi Ancol

Arief Kamaludin|KATADATA
Ilustrasi reklamasi. Keputusan Anies Baswedan mengizinkan reklamasi Dufan dan Ancol bertentangan dengan janji kampanyenya di Pilgub DKI 2017 dan berpotensi merusak lingkungan.
2/7/2020, 17.14 WIB

Pemberian izin reklamasi kawasan rekreasi Dunia Fantasi atau Dufan dan Taman Impian Jaya Ancol oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menuai polemik. Hal ini karena kebijakan ini dinilai dapat merusak lingkungan dan bertentangan dengan janji kampanye Anies pada Pilgub 2017 lalu.

Anies menerbitkan izin reklamasi melalui Keputusan Gubernur (Kepgub) Nomor 237 tahun 2020 tertanggal 24 Maret. Berbekal izin ini, PT Pembangunan Jaya Ancol sebagai pengelola bisa mereklamasi lahan Dufan seluas 35 hektar dan Taman Impian Jaya Ancol seluas 120 hektar.  

Lebih rinci, Kepgub tersebut menyatakan reklamasi harus dilengkapi dengan kajian teknis, yakni penanggulangan banjir, dampak pemanasan global, dan perencanaan pengambilan material perluasan kawasan. Begitu juga harus dilengkapi dengan kajian perencanaan infrastruktur atau prasarana dasar, analisa mengenai dampak lingkungan (amdal), dan kajian lain yang dirasa perlu.

(Baca: Tak Efektif Kurangi Kerumunan, Anies Cabut Aturan Ganjil Genap Pasar)

PT Pembangunan Jaya Ancol pun wajib menyediakan prasarana, sarana, dan utilitas dasar sesuai kebutuhan reklamasi, di antaranya jaringan jalan dalam kawasan, angkutan umum massal, jaringan utilitas, infrastruktur pengendali banjir, ruang terbuka biru, ruang terbuka hijau, dan pengelolaan limbah cari serta padat. Selain itu, juga diwajibkan mengeruk sedimentasi sungai di sekitar wilayah reklamasi.

Selanjutnya, Kepgub menyatakan 5% dari total luas kotor lahan yang berhasil direklamasi wajib diserahkan kepada Pemprov DKI Jakarta melalui berita acara serah terima. Lahan ini tak termasuk peruntukan prasarana, sarana, dan utilitas umum yang harus disediakan pengelola.

Beleid ini juga menyatakan izin reklamasi diberikan untuk jangka waktu tiga tahun. Bila sampai batas waktu reklamasi belum selesai, maka izin akan ditinjau kembali. Selama pelaksanaan, PT Pembangunan Jaya Ancol pun wajib melaporkan pelaksanaan reklamasi secara berkala kepada Gubernur DKI Jakarta setiap enam bulan atau sewaktu-waktu apabila dibutuhkan.  

Dinilai Melanggar Janji Kampanye

Akan tetapi, kebijakan Anies mendapat penolakan dari relawan Jaringan Warga (Jawara) yang merupakan pendukungnya saat Pilgub 2017 lalu. Koordinator Jawara Sanny A Irsan menilai tindakan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu bertentangan dengan janjinya semasa kampanye untuk menyetop reklamasi di Teluk Jakarta.

“Semoga Pak Anies dapat segera membatalkan rencana reklamasi di Ancol dan membatalkan Kepgub 237 tahun 2020 agar tidak mengecewakan masyarakat Jakarta, khususnya warga Pesisir Utara Jakarta,” kata Sanny melansir Antara, Selasa (30/6).

(Baca: Perpres 60 Tata Ruang Jakarta Disebut Memuat Peralihan Kawasan Lindung)

Hal senada disampaikan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA). Sekjen KIARA Susan Herawati menilai pemberian izin menunjukkan Anies tak berkomitmen memenuhi janjinya semasa kampanye. Hal ini karena selain izin reklamasi Ancol dan Dufan, Anies telah mengeluarkan lebih dari 900 Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk bangunan di Pulau D yang konsensinya dimiliki PT Kapuk Niaga Indah.

Menyetop reklamasi memang menjadi janji utama dalam kampanye Anies dan Sandiaga Uno di Pilgub DKI 2017. Katadata.co.id mencatat pada 12 April 2017  atau saat masa kampanye Anies menyatakan, "kami menolak reklamasi karena memberikan dampak buruk kepada nelayan kita dan memberikan dampak kepada pengelolaan lingkungan." 

Dalam kesempatan lain, yakni pada 21 Juni 2017 di Bukit Duri, Anies menyatakan "kami juga pastikan jangan diteruskan itu reklamasi. Resep mujarab kalau reklamasi dijalankan bakal merata banjir di Jakarta." 

Selain itu, Susan menilai Kepgub tersebut cacat secara hukum karena berdasarkan kepada tiga undang-undang yang sengaja dipilih untuk memuluskan kepentingan reklamasi. Pertama adalah UU No. 29 tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta sebagai Ibu Kota NKRI. Kedua, UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dan, ketiga UU No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Padahal, kata Susan, UU No. 27 tahun 2007 juncto UU No. 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil lebih pas untuk menjadi dasar Kepgub tersebut. “Kenapa UU tersebut tidak dijadikan dasar oleh Anies?” tanyanya, seperti dilansir Mongabay.

Merusak Lingkungan

Tak hanya itu, Susan menilai penerbitan izin reklamasi Ancol dan Dufan juga berpotensi merusak lingkungan. Khususnya kawasan perairan pesisir di sekitar Ancol. Hal ini karena kegiatan pengambilan material pasir untuk bahan pengurukan lahan reklamasi.

“Ekosistem perairan semakin hancur, ekosistem darat akan mengalami hal serupa. Ini salah satu bahaya reklamasi,” kata Susan.

Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies Elisa Sutanudjaja pun berpendapat sama. Potensi kerusakan lingkungan menurutnya karena sedimen yang menjadi bahan lahan reklamasi ini berasal dari sedimen kerukan 13 sungai DKI Jakarta dalam proyek normalisasi dan JEDI/JUFMP. Sementara, menurutnya, akibat pengerukan itu sungai-sungai di Ibu Kota telah tercemar.

“Jadi sekarang kita memindahkan pencemaran dari sungai ke laut tanpa ada kejelasan bagaimana mekanisme pengolahan lahan tersebut,” kata Elisa kepada Katadata.co.id, Kamis (2/7).

(Baca: Pengaturan Reklamasi di Perpres Tata Ruang Dinilai Tabrakan dengan UU)

Elisa menjelaskan, penilaiannya ini karena reklamasi Ancol berhubungan dengan normalisasi sungai dan JEDI/JUFMP atau Jakarta Emergency Dredging Initiative yang mulai berjalan pada 2007 lalu. Tempat pengumpulan lumpur hasil kerukan sungai adalah di lahan yang kini akan direklamasi di Ancol.

“Bagaimana kalau akhirnya polutannya terlepas atau konstruksinya tidak baik, atau ada likuifaksi karena aslinaya adalah sedimen sungai?” tanya Elisa.

Maka, kata Elisa, apabila Anies tetap ingin memberi izin sebaiknya untuk 20 hektar lahan yang terlanjur direklamasi sejak 2012 sampai hari ini. Bukan menambah lahan berkali lipat seperti tertuang dalam Kepgub. “Sambil memikirkan cara yang lebih lestari untuk mengolah sedimentasi tersebut atau pengolahan daerah aliras sungai (DAS) yang lebih lestasi,” ujarnya.

Elisa pun meminta Anies merevisi Kepgub yang telah diterbitkan dan memperjelas proses dekontaminasi limbah sedimen tersebut. “Reklamasinya enggak penting untuk penataan Kota Jakarta,” ujarnya.

Perihal polemik ini, Anies masih belum mau berkomentar. Saat ditemui wartawan di Balai Kota pada Selasa (30/6) lalu, ia hanya berkata “nanti dijelasinnya lengkap sekalian, jangan doorstop.”