Tak lama setelah pemerintah mengumumkan kasus 01 Covid-19 pada 2 Maret 2020, penerapan physical distancing mulai diterapkan. Sejumlah bisnis yang bergantung pada kerumunan orang pun mulai perlahan-lahan redup. Kedai kopi salah satu bisnis yang paling terdampak akibat kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Walhasil banyak kedai kopi ditutup.
Tak terkecuali Klinik Kopi, kedai kopi di Yogyakarta milik Firmansyah alias Pepeng. Dia menutup usahanya pada 23 Maret 2020 lalu. Meskipun tak bisa kongkow, Klinik Kopi tetap buka. Namun, ‘menumpang’ lapak Dapur Tetangga. Dapur Tetangga merupakan bisnis kue yang dijalankan istri Pepeng. Sebelum pandemi, dapur ini penyuplai camilan bagi para pelanggan kedai Klinik Kopi.
Walaupun buka, Klinik Kopi di Dapur Tetangga tetap menjalankan protokol kesehatan, seperti pembatasan pengunjung dan wajib memakai masker serta pembatasan jam operasional. Bagi Pepeng, Dapur Tetangga milik sang istri bak sekoci saat kapal Titanic tenggelam.
“Jadi, Klinik Kopi itu kapal Titanic-nya. Nah, Dapur Tetangga ini sekoci. Semua bisnis harus punya sub-bisnis lainnya karena dia buat penopang,” kata Pepeng dalam webinar Katadata yang bertajuk Kisah Sukses UMKM: Kisah Sukses UMKM: Adaptasi & Inovasi di Tengah Pandemi pada 26 Juni lalu.
“Di Klinik Kopi nggak bisa dine in, di Dapur Tetangga masih bisa dine in,” ujar Pepeng seraya menjelaskan bahwa ada jarak antara tempat ia membuat kopi dengan pengunjung di Dapur Tetangga serta sekat berupa jendela kaca. Dia menambahkan seharusnya setiap warung kopi punya cara masing-masing untuk beradaptasi saat menghadapi krisis.
Pandemi Corona memang memaksa banyak orang untuk berdiam diri di rumah, sehingga berdampak ke industri kopi. Pemerintah mencatat, warung kopi atau kafe biasanya sepi pengunjung pada April dan Oktober. Petani kopi di Aceh pun mengeluhkan anjloknya harga jual hingga 40 persen dari Rp10 ribu menjadi Rp5.800 per bambu.
Meskipun kedainya tutup dan usahanya dia alihkan ke lapak istrinya, Pepeng juga memiliki sekoci lainnya, yaitu Tokopedia. Selama pandemi, Pepeng semakin memfokuskan diri berjualan di Tokopedia, satu-satunya marketplace tempat dia berjualan secara daring.
“Untungnya saya ini sudah jualan di Tokopedia dari 2018 sehingga saya tidak terlalu kaget bagaimana memutar bisnis ini,” ujarnya.
Alhasil, meski warung kopinya tutup, tetapi bisnisnya masih terus berjalan. Setidaknya 90 persen pendapatannya saat ini berasal dari penjualan online. “Lebih dari 90 persen penjualan kami dari Tokopedia,” kata Pepeng.
Jualan di Tokopedianya pun dia tidak lakukan secara sembarangan. Pepeng, membuat penjualannya dengan cara unik. Setiap jenis biji kopi yang dia jual, dilengkapi dengan kartu yang berkisah tentang asal usul biji kopi.
“Tiap kopi ada ceritanya. Kami juga berencana akan membuat barcode supaya pelanggan bisa tahu lokasi sumber kopi itu,” kata Pepeng. “Tahu asal muasal kopi kan salah satu ikhtiar Halalan Thayyiban.”
Menurut Pepeng, cara berjualannya itu mampu memikat pembeli dan memperbanyak pelanggan.
Promosi yang Kencang
Selain memiliki sekoci dan cara berjualan yang unik, Pepeng memberi tips bagi para pelaku UMKM kopi lainnya. Antara lain, promosi di media sosial yang kencang. Karena, kalau sekedar berjualan di marketplace tanpa promosi di media sosial, tidak akan bisa berhasil.
“Jadi, kalau ada pedagang tidak laku, karena mereka tidak mau mempromosikan barang yang dijualnya. Harus berpromosi si penjualnya,” ujarnya.
Melalui pemanfaatan marketplace Tokopedia, produk Klinik Kopi bisa dinikmati masyarakat luas, bahkan dari Palu, Kalimantan hingga Papua. Selama pandemi ini, penjualan online meningkat
Selain berjualan biji kopi, dia juga berjualan peralatan menyeduh kopi, sebagai penopang usaha utamanya. Bergerak dengan merek Dapur Tetangga, ia dalam sebulan telah menjual 3.000 alat penyeduh kopi. “Dulu orang datang dan minum di sini. Saat pandemi sepi, tapi penjualan online justru meningkat,” katanya.