Persoalan Program Organisasi Penggerak Kemendikbud yang Tuai Kritik

ANTARA FOTO/Anis Efizudin/wsj.
Ilustrasi. Program Organisasi Penggerak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menuai kritik. Muhammadiyah memutuskan mundur dari program tersebut.
Penulis: Sorta Tobing
22/7/2020, 17.04 WIB

Program Organisasi Penggerak yang diinisiasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mendapat sorotan. Setelah muncul kritik karena meloloskan Tanoto Foundation dan Sampoerna Foundation untuk mendapatkan bantuan dana, kali ini Muhammadiyah memutuskan mundur dari program itu.

Muhammadiyah menilai kriteria pemilihan organisasi masyarakat yang lolos dalam tahap evaluasi proposal tidak jelas. “Karena tidak membedakan antara lembaga CSR (tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility) yang sepatutnya membantu dana pendidikan, dengan organisasi masyarakat yang berhak mendapatkan bantuan dari pemerintah,” kata Ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Pusat Muhammadiyah H Kasiyarno dalam keterangan tertulisnya, Rabu (21/7), dikutip dari Antara.

Saat ini Muhammadiyah memiliki 30 ribu satuan pendidikan yang tersebar di seluruh Indonesia dan sudah banyak membantu pemerintah, bahkan sebelum Indonesia merdeka. "Sehingga tidak sepatutnya dibandingkan dengan organisasi masyarakat yang sebagian besar baru muncul beberapa tahun terakhir dan terpilih dalam Program Organisasi Penggerak,” ujarnya.

Berdasarkan data terakhir, Tanonto Foundation dan Sampoerna Foundation termasuk dari 156 ormas (organisasi masyarakat) yang lolos program tersebut. Mereka masuk dalam kategori Gajah atau bisa mendapatkan alokasi anggaran Rp 20 miliar per tahun dengan sasaran lebih dari 100 sekolah.

Ilustrasi. Program Merdeka Belajar. (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)

Apa Itu Program Organisasi Penggerak?

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim sebelumnya mengatakan Program Organisasi Penggerak adalah episode keempat dalam kebijakan Merdeka Belajar. Program ini diluncurkan pada 10 Maret 2020.

Tujuan program itu adalah untuk meningkatkan kualitas guru dan kepala sekolah di bidang literasi dan numerasi selama dua tahun ajaran, dari 2020 hingga 2022. Dasar hukum POP termaktub dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 32 tahun 2019 tentang Pedoman Umum Penyaluran Bantuan Pemerintah di Kemendikbud.

Program ini menargetkan sebanyak 50 ribu guru, kepala sekolah, dan tenaga kependidikan di lima ribu sekolah jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Sekolah Dasar (SD), dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kemendikbud mengalokasikan anggaran Rp 559 miliar.

Anggaran tersebut akan dibagikan untuk membiayai pelatihan atau peningkatan kapasitas yang diadakan organisasi masyarakat (ormas) yang terpilih. Besarnya dana hibah disesuaikan dengan kategori.

Melansir Kompas.com, besar bantuan dana dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan sasaran satuan pendidikan, yaitu:

  1. Kategori I (Gajah) dengan sasaran lebih dari 100 satuan pendidikan dan memperoleh bantuan maksimal Rp 20 miliar per tahun.
  2. Kategori II (Macan) dengan sasaran 21 sampai dengan 100 satuan pendidikan dan memperoleh bantuan maksimal Rp 5 miliar per tahun
  3. Kategori III (Kijang) dengan sasaran lima sampai dengan 20 satuan pendidikan dan memperoleh bantuan maksimal Rp 1 miliar per tahun.

Program Organisasi Penggerak Rawan Tak Tepat Sasaran

Pakar pendidikan Darmaningtyas berpendapat Program Organisasi Penggerak seharusnya tidak melibatkan organisasi besar yang memiliki banyak uang karena tidak layak mendapat kucuran dana hibah pemerintah. Sebaliknya, organisasi besar harusnya membantu menyokong dana program itu melalui CSR.

Ia berpendapat masih banyak sekolah alternatif yang dikelola oleh masyarakat secara swadaya yang seharusnya mendapat suntikan dana. “Jadi jangan dibalik, Kemendikbud kok memberikan dana kepada organisasi raksasa dari private sektor,” kata Darmaningtyas, dikutip dari medcom.id.

Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim mengatakan dana program tersebut lebih baik dipakai untuk membatu pelaksanaan pendidikan jarak jauh atau PJJ di tengah pandemi Covid-19. “Daripada membantu yayasan perusahaan,” katanya.

Saat ini lebih dari 46 ribu sekolah tidak dapat melakukan pembelajaran jarak jauh karena infrastruktur tidak memadai. Hal ini tidak hanya terjadi di daerah tertinggal, terluar, dan terdepan (3T), tapi juga Jakarta dan kota penyangga sekitarnya.

Lolosnya Tanoto Foundation dan Sampoerna Foundation dalam program tersebut, menurut dia, mengejutkan dan rawan konflik kepentingan. "Kami menduga ada potensi konflik kepentingan karena Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan pernah menjadi salah satu dekan di bawah salah satu yayasan perusahaan tersebut. Begitu juga di Tanoto Foundation," ujarnya.

Melansir dari situs Kemendikbud, Dirjen GTK Iwan Syahril pernah menjabat sebagai dekan Fakultas Pendidikan Universitas Sampoerna. Ia juga sempat menjadi dewan penasehat teknis Tanoto Foundation.

Menanggapi hal tersebut, Communications Director Tanoto Foundation Haviez Gautama mengatakan pihaknya adalah organisasi filantropi independen. Yayasan ini telah bekerja sama dengan pemerintah dan mitra lainnya dalam memajukan pendidikan Indonesia sejak 1981.

“Tanoto Foundation bukan CSR karena tidak menggunakan dana operasional perusahaan dan dikelola secara independen dan terpisah dari kegiatan bisnis,” ujar Havies, dilansir dari Liputan6.com.

Tanoto Foundation, ia menuturkan, tidak menerima dana dari pemerintah dan sepenuhnya membiayai sendiri Program PINTAR Penggerak dengan nilai investasi lebih dari Rp 50 miliar untuk periode 2020-2022.

Melalui program itu, yayasan akan bekerja untuk mengembangkan kapasitas tenaga pengajar di 260 Sekolah Penggerak di empat kabupaten, yaitu Kampar (Riau), Muaro Jambi (Jambi), Tegal (Jawa Tengah), dan Kutai Barat (Kalimantan Timur).

Iwan Syahril sebelumnya mengatakan organisasi-organisasi yang terpilih dalam program itu sudah memiliki rekam jejak yang baik dalam implementasi program pelatihan guru. "Penentuan organisasi kemasyarakatan yang lolos seleksi dilakukan oleh tim independen yang berintegritas tinggi. Kemendikbud tidak melakukan intervensi. Hal ini dilakukan untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas Program Organisasi Penggerak,” ujarnya.

Kemendikbud menunjuk Insitut SMERU sebagai penyeleksi independen program tersebut. Hingga 16 Mei 2020, terdapat 324 proposal dari organisasi kemasyarakatan bidang pendidikan yang telah diterima Kementerian untuk dilanjutkan prosesnya ke tahap evaluasi oleh tim independen.

Direktur Guru dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Menengah dan Pendidikan Khusus Praptono menjelaskan program ini berjalan dengan sistem seleksi yang ketat. Proses seleksi proposal terdiri atas evaluasi administrasi yang dilakukan tim verifikasi administrasi Kemendikbud, dilanjutkan dengan evaluasi teknis substantif, evaluasi pembiayaan, dan verifikasi yang dilakukan tim independen.

Dalam proses evaluasi proposal, diberlakukan mekanisme double blind review, identitas organisasi kemasyarakatan dan identitas evaluator saling terjaga dari satu sama lain. Hal itu memungkinkan penilaian proposal dilakukan secara obyektif, netral dan adil berdasarkan ranking.

Setelah melalui keseluruhan proses evaluasi, 183 proposal dari 156 organisasi kemasyarakatan dinyatakan memenuhi kriteria untuk melaksanakan program tersebut. Proposal terpilih, harapannya, dapat mendukung kebijakan Merdeka Belajar dan mendukung transformasi pendidikan di Indonesia.

"Proposal yang terpilih mewakili seluruh wilayah di Indonesia. Gagasan-gagasan yang ditawarkan juga kami yakini dapat diimplementasikan dan memberikan perubahan yang bermakna," kata Akhmadi.

Penyumbang bahan: Muhamad Arfan Septiawan (magang)

Reporter: Antara