Diwarnai Banyak Penolakan, Pembahasan RUU Omnibus Law Masuk ke Bab III

ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/aww.
Protes tak menyurutkan pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja oleh DPR dan pemerintah. DPR menyebut pembahasan telah sampai di Bab III.
31/8/2020, 21.41 WIB

Protes dan penolakan tak menyurutkan pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja oleh DPR dan pemerintah. DPR  menyebut pembahasan telah sampai di Bab III dan terus mencari jalan tengah menyelesaikan persoalan klaster ketenagakerjaan yang ditolak buruh. 

Perjalanan pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja penuh dengan protes dan penolakan. Beleid ini dinilai bisa menciptakan pelbagai masalah jika dirampungkan. Salah satu yang mengkritisinya adalah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta melalui terbitan lembar kebijakan berjudul “Omnibus Law Cipta Kerja: Obsesi Pembangunan yang Merampas Ruang dan Mengorbankan Pekerja” pada April 2020 lalu. 

LBH Jakarta menilai metode Omnibus Law tak dikenal dalam UU Nomor 11 tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang telah direvisi menjadi UU 15/2019. Selain itu, Omnibus Law telah dianggap sebagai cara yang tidak demokratis dan despotis di pelbagai belahan dunia.

RUU Omnibus Law, kata LBH Jakarta, juga mengandung ilusi pemangkasan aturan atau deregulasi. Hal ini lantaran beleid ini justru akan menciptakan 493 Peraturan Pemerintah, 19 Peraturan Presiden, dan 4 Peraturan Daerah baru agar bisa diimplementasikan.

Investor asing yang diharapkan bisa terbantu dengan deregulasi, menurut LBH Jakarta, justru akan semakin tersesat dengan banyaknya aturan pelaksana baru tersebut. Belum lagi ditambah dengan aturan pelaksana lain yang masih berlaku sebelum RUU Omnibus Law Cipta Kerja hadir.  

“Pada akhirnya jumlah yang besar ini membuktikan bahwa hipotesis pemerintah tentang efektifitas RUU Cipta Kerja sebagai cara menyelesaikan tumpang tindihnya regulasi di Indonesia tak terbukti,” tulis LBH Jakarta.

LBH Jakarta juga menyebut RUU Omnibus Law Cipta Kerja berpotensi memudahkan penggusuran di daerah. Hal ini lantaran beleid mengatur kemudahan bagi pengadaan lahan di bawah 5 hektar dengan mengecualikan syarat konsultasi publik, kesesuaian ruang, pertimbangan teknis, bahkan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

“RUU Cipta Kerja menunjukkan bagaimana persepsi tentnag pembangunan hanya dimonopoli oleh masyarakat kelas menengah atas,” tulis LBH Jakarta.

Selanjutnya, LBH Jakarta menyatakan perubahan skema Izin Mendirikan Bangunan (IMB) menjadi Persetujuan Bangunan Gedung melalui pengajuan daring bisa menciptakan masalah koordinasi antara pusat dan daerah. Mengingat kewenangan menerbitkan persetujuan hanya dimiliki pemerintah pusat.

Selain itu, perubahan tersebut berpotensi menciptakan manipulasi desain pendirian bangunan yang tak sesuai dengan kondisi aktual di lapangan. Persetujuan tanpa didahului inspeksi lapangan pun bisa terjadi. Penegakan hukum pelanggaran pendirian bangunan pun terancam sulit dilakukan karena kesenjangan kewenangan antara pusat dan daerah.

LBH Jakarta pun menuntut agar seluruh proses pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja dihentikan. Begitupun agar beleid ini keluar dari program legislasi nasional 2020. 

Kritik LBH Jakarta ini selaras dengan ekonom senior INDEF, Faisal Basri yang menduga RUU Omnibus Law adalah pesanan kelompok elite atau oligarki untuk menyedot sumber daya alam di Tanah Air. Bukan seperti alasan pemerintah memberikan kemudahan investasi masuk. Mengingat menurutnya kinerja investasi Indonesia tak terlalu buruk. 

“Ada dimensi yang di luar kemampuan kita untuk menata ini semua dan Omnibus Law itu salah kaprah,” katanya dalam diskusi daring pada 27 Juli lalu.  

Buruh Tuntut Klaster Ketenagakerjaan Dihapus

Namun, masalah yang selama ini serius disorot adalah terkait hak pekerja dan buruh. Pangkalnya adalah beberapa poin yang dinilai merugikan buruh dan bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan.  

Pertama Pasal 79 ayat (2) poin b yang menyebut libur kerja hanya satu hari dalam seminggu. Kedua, Pasal 88 yang membagi tiga jenis upah minimum, yakni upah minimum provinsi (UMP), upah minimum padat karya, dan upah minimum UMKM. Termasuk menghapus upah minimum kabupaten/kota (UMK).

Ketiga, izin tenaga kerja asing bekerja di banyak bidang dan posisi selain hubungan diplomatik seperti tertuang di Pasal 42 UU Ketenagakerjaan. Keempat, penghapusan PKWT yang membuat pekerja rentan terkena PHK sebab pengusaha bisa bebas menentukan waktu habis kontrak.

Buruh pun menggelar serangkaian demonstrasi menolaknya. Terakhir adalah pada 25 Agustus lalu serentak di sejumlah daerah, seperti di depan Kompleks DPR Senayan, Jakarta, Surabaya, dan Medan. Mereka menunut klaster ketenaga kerjaan dihapus.

Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menyatakan, DPR tengan berupaya mencari jalan tengah dengan cara menyerap aspirasi kalangan asosiasi pengusaha, konfederasi buruh, dan lainnya yang berkepentingan langsung dengan beleid ini.

“Kami juga sudah mengadakan rapat bersama konfederasi serikat pekerja dan sudah membuat tim perumus bersama serikat pekerja mengenai RUU Cipta Kerja ini,” katanya, Sabtu (29/8) melansir Antara.

Tim perumus yang dimaksud Dasco terbentuk pada 19 Agustus lalu. Beberapa serikat pekerja yang mewakili 32 federasi dan konfederasi masuk di dalamnya, seperti Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani, KSPSI Yoris Raweyai, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) 98’, forum guru, dan tenaga honorer.

Dari sisi DPR, diwakili Dasco, Ketua Panja RUU Omnibus Law Cipta Kerja Supratman Andi Agtas, Wakil Ketua Panja RUU Omnibus Law Cipta Kerja Willy Aditya. Mereka kemudian rapat pada 20-21 Agustus 2020 di Hotel Mulia, Jakarta.

Dalam forum itu, buruh mengusulkan agar DPR dan pemerintah menghapus klaster ketenagakerjaan. Jika tidak memungkinkan, maka agar tidak mengubah substansi UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketengakerjaan.

DPR mengklaim telah memiliki empat poin kesepakatan dengan buruh. Salah satunya klaster ketenagakerjaan berdasar pada putusan-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) seperti terkait Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), upah, pesangon, dan PHK. Begitupun DPR memasukkan poin-poin keinginan serikat buruh dalam daftar inventarisasi masalah (DIM).

Dengan pengusaha, Dasco menyatakan telah melakukan rapat dengan Apindo dan Kadin pada Jumat (28/8) lalu. Ia menyatakan DPR telah mendengar seluruh masukan kedua asosiasi tersebut yang menurutnya positif.

Tinggal komunikasi antara pengusaha dan buruh saja ditingkatkan, di sisi lain DPR yang akan menjembatani titik temu tersebut,” kata Dasco.

Pembahasan Sampai Bab III

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Achmad Baidlowi menyatakan, pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja masih terus berlanjut dan kini sampai di Bab III terkait Peningkatan Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha. “Klaster ketenagakerjaan dibahas di bagian akhir,” katanya kepada Katadata.co.id melalui pesan WhatsApp, Senin (31/8).

Namun, sampai berita ini ditulis Baidlowi belum membalas saat ditanya lebih lanjut mengenai masa depan pembahasan klaster ketenagakerjaan. Begitupun target perampungan RUU Omnibus Law Cipta Kerja secara keseluruhan. 

Sebelumnya, Sekretaris Kementerian Koordinator Perekonomian Susiwijono menyatakan perkembangan pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja telah mencapati 80%. Meskipun begitu, pemerintah tidak menargetkan waktu perampungan beleid ini. Mengingat pembahasan dengan DPR sangat dinamis.

Hanya, ia menekankan bahwa maksud pembuatan RUU Omnibus Law Cipta Kerja adalah untuk mendorong investasi. “Pak Presiden sudah berkali-kali sampaikan, untuk kebutuhan investasi, kondisi sekarang yang mengalami hyper regulasi ini hatus dipotong,” katanya dalam diskusi daring, Kamis (27/8).

Sedangkan,  Menko Perekonomian Airlangga Hartarto pada 14 Agustus lalu memastikan pembahasan beleid ini akan selesai dalam masa sidang paripurna DPR tahun ini. 

Reporter: Antara