Laris Manis Gula Semut Andalan Petani Hutan Lestari

Sahal Wahono-Kemitraan
Proses memasak nira sebelum jadi gula semut dilakukan secara mandiri di rumah petani.
Penulis: Fitria Nurhayati - Tim Riset dan Publikasi
28/9/2020, 18.26 WIB

Dengan nilai jual yang lebih tinggi, anggota kelompok mendapatkan penghasilan lebih dari 2 kali lipat dibanding waktu masih memproduksi gula batok. “Waktu masih memproduksi gula batok tahun 2012 lalu, penghasilan kelompok hanya Rp 1-1,5 juta per bulan. Sejak 2019, penghasilan sudah naik jadi Rp 3-3,5 juta per bulan,” kata Tamrin dengan suara riang kepada tim riset Katadata.

 Sumber: Interview Ketua KTH Buhung Lali Muhammad Tamrin Haji Tama

Selain meningkatkan penghasilan anggota kelompok, produksi gula semut juga mendulang berkah bagi masyarakat lainnya. KTH Buhung Lali mendapat bantuan rumah produksi dari Dinas Kehutanan Bulukumba. Di rumah produksi tersebut ada beberapa pekerja yang bertugas memproduksi gula semut apabila anggota kelompok berhalangan memproduksi sendiri. “Tinggal ada pemotongan harga per liternya untuk menggaji pekerja di rumah produksi,” ungkap Tamrin.

Pemasaran, Tantangan Besar KTH Buhung Lali

Terlepas dari keberhasilan meningkatkan nilai ekonomi dan penghasilan anggota dan masyarakat lainnya, Tamrin mengakui masih ada pekerjaan rumah yang perlu segera dicari solusinya, yaitu pemasaran.

Kapasitas produksi gula semut terus meningkat, dari yang awalnya baru bisa menghasilkan 200 kg per bulan, sejak 2019 sudah bisa menghasilkan 2 ton per bulan. Namun, proses pemasaran masih mengalami kendala. Mayoritas pemasaran gula semut baru sekitar Bulukumba-Makasar. Padahal menurut Tamrin, peminat gula semut KTH Buhung Lali banyak.

Ikrar mengungkapkan, sejauh ini SCF membantu penjualan dengan memanfaatkan jaringan di Makasar. Rantai pengiriman tidak terlalu panjang, dari kelompok mendrop di SCF, lalu SCF menjual ke Makasar. Selain itu, SCF juga menjadi narahubung calon pembeli ke KTH Buhung Lali. Calon pembeli bisa langsung menelepon KTH untuk melakukan transaksi jual-beli. Hanya saja, belum semua calon pembeli bisa dilayani.

Orang-orang yang mendapat informasi penjualan gula semut KTH Buhung Lali berbondong-bondong menelepon Tamrin. Asal calon pembeli itu bukan hanya dari Bulukumba, bukan hanya dari Makasar, tapi dari kota-kota lainnya juga, termasuk kota-kota di Jawa. “Kita banyak permintaan, tapi tidak ada mobil untuk bawa. Kita mau kerja sama ama orang lain, tapi takut biaya lebih mahal,” ucap Tamrin.

Tamrin dan kelompoknya berkeinginan agar gula semut mereka bisa dinikmati banyak orang dari berbagai daerah. Ia mengakui, anggota kelompoknya masih harus banyak belajar strategi pemasaran. Selama ini mereka masih bergantung dengan cara pemasaran manual. “Kami harus belajar lagi. Belajar cara memasarkan produk, cara berhitung, supaya kami bisa kirim gula semut ke mana pun,” ucap Tamrin.

Halaman: