Tekan Harga Tiket Pesawat, Subsidi Airport Tax Bisa Sampai Juni 2021

ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/wsj.
Sejumlah pekerja menyiapkan pesawat untuk terbang membawa penumpang di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Jumat (10/7/2020). Di masa tatanan normal baru, lalu lintas penerbangan di Bandara Soekarno-Hatta pada periode 1-5 Juli 2020 rata-rata sebanyak 355 penerbangan per hari, atau naik dibandingkan periode sama bulan lalu yang rata-rata 243 penerbangan per hari.
Penulis: Rizky Alika
Editor: Pingit Aria
23/10/2020, 19.24 WIB

Kementerian Perhubungan (Kemenhub) membuka peluang untuk memperpanjang program subsidi airport tax atau Pelayanan Jasa Penumpang Pesawat Udara (PJP2U). Tujuannya adalah untuk mempercepat pemulihan sektor penerbangan dan pariwisata yang terpukul pandemi.

Pemerintah menyiapkan anggaran subsidi pajak bandara sebesar Rp 1,01 triliun jika program ini dilanjutkan. "Kalau ini efektif, kami lanjutkan pada 2021 untuk Januari-Juni untuk insentif kalibrasi dan PJP2U," kata Direktur Jenderal Perhubungan Udara Novie Riyanto dalam konferensi pers secara virtual, Jumat (23/10).

Adapun, stimulus airport tax diperhitungkan dengan mempertimbangkan peningkatan pengguna jasa transportasi udara di 13 bandara pendukung ekonomi dan pariwisata. Selama program ini berjalan, jumlah penumpang diasumsikan sebanyak 9,75 juta penumpang.

Selain itu, Kemenhub menyiapkan pula insentif kalibrasi senilai Rp 55,22 miliar pada 2021. stimulus kalibrasi untuk fasilitas navigasi penerbangan dan pendaratan diberikan untuk LPPNPI (Airnav Indonesia), PT Angkasa Pura I, dan PT Angkasa Pura II.

Kedua usulan tersebut sesuai dengan Surat Menteri Perhubungan Nomor PR.001/1/11 PHB 2020 perihal Usulan Kegiatan Pembangunan Destinasi Wisata Melalui Program Pemulihan Ekonomi Nasional 2021.

Pada tahun ini, insentif untuk airport tax nilainya mencapai Rp 175,74 miliar dengan asumsi penumpang sebanyak 1,62 juta orang. Stimulus diterapkan di 13 bandara destinasi wisata, yaitu Jakarta, Toba, Borobudur, Mandalika, Labuan Bajo, Likupang, Bali, Banyuwangi, dan Kepulauan Riau.

Sebagaimana diketahui, airport tax dibayarkan penumpang secara otomatis melalui tiket penumpang pesawat udara (Passenger Service Charge on Ticket). Tarif itu dihitung sejak penumpang memasuki beranda keberangkatan sampai dengan penumpang tiba di bandara tujuan hingga keluar di beranda kedatangan.

Tarif PJP2U berbeda-beda di setiap bandara. Untuk Jakarta (CGK), nilainya sebesar Rp 130 ribu per penumpang. Kemudian, Medan (KNO), Denpasar (DPS) dan Semarang (SRG) tarifnya Rp 100 ribu per penumpang. Sementara, Batam (BTH), Lombok (LOP), Manado (MDC), dan Silangit (DTB) memiliki nilai PJP2U sebesar Rp 60 ribu per penumpang.

Kemudian, Kulon Progo (YIA) dan Banyuwangi (BWX) tarifnya masing-masing sebesar Rp 125 ribu dan Rp 65 ribu. Sementara, Jogjakarta (JOG) sebesar Rp 50 ribu, Labuan Bajo (LBJ) Rp 25 ribu, dan Jakarta-Halim (HLP) Rp 50 ribu.

Pengamat penerbangan Gatot Rahardjo menilai, stimulus airport tax dapat berjalan efektif dengan sejumlah syarat. Salah satunya, maskapai tidak menaikkan tarif meski terjadi peak season.

Selama ini, pihak maskapai kerap mengerek harga tiket menjelang akhir tahun atau saat puncak musim liburan. Bila hal itu terjadi, harga tiket tidak akan mengalami perbedaan atau bahkan lebih tinggi.

Untuk itu, ia berharap maskapai Garuda Indonesia sebagai pemimpin harga penerbangan dapat menahan kenaikan tarif penerbangan. Dengan demikian, maskapai lain tidak akan mendorong kenaikan tarif.

Selain itu, ia menilai stimulus akan efektif bila diterapkan untuk perjalanan pergi-pulang (PP). Sementara, kebijakan airport tax saat ini hanya berlaku di 13 kota saja sehingga penumpang yang berasal dari luar wilayah tersebut akan dikenakan airport tax saat berangkat. "Jadi sebaiknya stimulusnya dibuat PP saja, dari dan ke 13 kota itu," katanya.

Di sisi lain, lanjut dia, industri penerbangan perlu mewaspadai imbauan Menteri Dalam Negeri dalam Surat Edaran (SE) NOMOR 440/5876/SJ Tentang Antisipasi Penyebaran Covid-19 pada Libur dan Cuti Bersama Tahun 2020.

Menurutnya, SE tersebut kontradiktif dengan keinginan untuk meningkatkan jumlah wisatawan. "Jadi sebaiknya dilakukan koordinasi antara Kemenhub dan Kemendagri agar tidak terjadi kontradiktif," ujar dia.

Reporter: Rizky Alika