Tes dan Pelacakan Covid-19 Terbentur Stigma Negatif di Masyarakat

ANTARA FOTO/Fauzan/wsj.
Sejumlah warga memberi semangat kepada seorang pasien yang terpapar COVID-19 saat dijemput oleh petugas kesehatan di Jakarta, Minggu (13/12/2020). Menghilangkan stigma negatif dapat membantu penanganan Covid-19.
28/12/2020, 20.26 WIB

Stigma negatif terhadap penderita Covid-19 berdampak pada upaya penanganan pandemi. Terutama dalam upaya tes, telusur, dan tindak lanjut (testing, tracing, dan treatment/3T).

Anggota Sub Bidang Tracing Bidang Penanganan Kesehatan Satgas Covid-19, dr. Retno Asti Werdhani, mengatakan stigma negatif menyebabkan orang takut mengakui bahwa dia menderita Covid-19. Hal itu menyebabkan pasien Covid-19 tidak bisa diajak bekerja sama dengan petugas kesehatan. 

Dia pun berbagi pengalamannya  ketika menangani pasien yang tidak ingin dijemput dengan ambulance atau mobil pelat merah, dan petugas yang menggunakan baju hazmat. Dirinya pun akhirnya menjemput pasien dengan mobil berpelat hitam dan tanpa baju hazmat. Dengan cara tersebut, pasien akhirnya mau koorporatif dengan petugas kesehatan.

Hal tersebut terjadi karena adanya stigma negatif di lingkungan tempat tinggal pasien. Jika tidak ada stigma negatif, penjemputan pasien akan lebih mudah. 

Selain itu itu, stigma negatif menyebabkan pasien tertutup terhadap kontak eratnya. "Padahal orang yang kontak erat dengan mereka berpotensi terinfeksi dan jika tidak ditelusuri akan menjadi sumber infeksi lain," kata Asti dalam Talkshow "Stop Stigma: Sebar Cinta Saat Pandemi" yang disiarkan Youtube BNPB pada Senin (28/12).

Selain itu, para pasien yang menerima stigma negatif juga tidak ingin dipantau oleh Satgas Penanganan Covid-19. Padahal, dengan cara tersebut, pemerintah bisa memenuhi kebutuhan logistiknya. 

Seluruh dampak stigma negatif itu terjadi lantaran kurangnya informasi yang diterima masyarakat. Hal itu juga bisa terjadi karena banyaknya berita bohong atau hoaks yang beredar.

Untuk menangkal hoaks yang beredar, dia berharap semua elemen masyarakat ikut membantu meluruskan persepsi yang salah mengenai Covid-19 dengan penggunaan bahasa yang positif. 

Salah satu caranya dengan menginformasikan bahwa Covid-19 merupakan penyakit menular yang dapat sembuh. Sehingga pasien yang sudah sembuh tidak menerima stigma negatif karena dianggap masih membawa virus dalam tubuh mereka. 

Selain itu, masyarakat juga bisa berempati terhadap pasien Covid-19 yang harus terisolasi saat menjalani perawatan dan dikucilkan ketika sudah sembuh. "Kita pun jika distigma seperti itu tidak enak rasanya," kata Asti. 

Adapun jika pasien terstigma negatif, dia menyarankan agar pasien tetap berkomunikasi dengan orang-orang terdekat untuk mencari dukungan. Pasalnya, dukungan tersebut sangat berpengaruh pada kesembuhan pasien. Jika terlalu sulit mencari dukungan, dia menyarankan pasien untuk menelepon layanan konseling dari psikolog. 

Dengan cara-cara tersebut, Asti berharap tidak ada lagi masyarakat yang berstigma negatif pada penderita Covid-19. Melainkan, masyarakat yang di lingkungannya mendapati pasien Covid-19 bisa membantu dan memberikan dukungan. Dengan begitu, penanganan pandemi corona bisa lebih maksimal.

"Melalui Covid-19 ini, kita belajar untuk peduli dan membantu orang lain yang terkena Covid-19. Jika kita berstigma negatif, kita justru menutup akses dukungan, dan itu berbahaya," ujar dia. 

Tidak lupa, masyarakat juga harus selalu menerapkan 3M, yaitu memakai masker, menjaga jarak, serta mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir. Tiga langkah mudah tersebut sudah terbukti dapat menekan risiko penularan Covid-19.

Masyarakat dapat mencegah penyebaran virus corona dengan menerapkan 3M, yaitu: memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak sekaligus menjauhi kerumunan. Klik di sini untuk info selengkapnya.
#satgascovid19 #ingatpesanibu #pakaimasker #jagajarak #cucitangan