Risiko Penyebaran Covid-19 dari Dibukanya Sekolah Tatap Muka

ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani/wsj.
Pelajar mengerjakan soal ujian matematika di SMP Negeri 2 Tarokan, Kediri, Jawa Timur, Rabu (24/3/2021). Meskipun pembelajaran masih secara daring, pemerintah daerah setempat mengizinkan sekolah tingkat SMP hingga SMA menggelar Ujian Satuan Pendidikan (USP) secara tatap muka dengan menerapkan protokal kesehatan COVID-19.
25/3/2021, 06.15 WIB

Pembukaan sekolah pun disarankan dengan protokol kesehatan yang ketat. Kedisiplinan murid juga harus dipastikan terjaga mulai dari rumah, perjalanan, hingga sampai di sekolah.

Kemudian, kapasitas murid dalam kelas dibatasi sebanyak 10-15 orang dengan pengaturan tempat duduk yang terpisah. Murid dan guru juga disarankan mengenakan masker dan pelindung wajah (face shield).

Tak hanya itu, opsi sekolah secara online tetap harus disediakan. Bila perlu, siswa dan guru yang hadir di sekolah harus melakukan tes usap antigen. "Guru bisa didanai oleh BOS (Bantuan Operasional Sekolah)," katanya.

Peneliti Global Health Security dan Pandemi Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan, semakin tinggi tingkat penularan komunitas, maka semakin besar pula kemungkinan virus corona merambah ke sekolah dari komunitas.

"Ini dapat menyebabkan penularan di sekolah jika strategi pencegahan berlapis tidak digunakan," kata Dicky dalam bahan paparannya.

Ia pun merekomendasikan langkah pencegahan penularan di sekolah. Pertama, informasi tentang tingkat penularan komunitas harus dikombinasikan dengan kasus di sekolah serta pelaksanaan strategi mencegah penyebaran virus.

Kedua, pembatasan pada olahraga dan kegiatan ekstrakurikuler. Ketiga, sekolah dan petugas kesehatan harus mempertimbangkan jumlah kasus Covid-19 antara siswa, guru, dan staf.

Keempat, sekolah harus mempertimbangkan jumlah orang yang menjalani karantina, kepatuhan dengan strategi pencegahan, dan tingkat penularan komunitas. Kelima, penerapan jarak antar siswa 2 meter, menjaga ventilasi yang baik,penggunaan masker yang benar, dan tes untuk mendeteksi individu tertular Covid-19.

 Terakhir, mempercepat vaksinasi untuk guru dan staf; penerapan etiket mencuci tangan, batuk, dan bersin; membersihkan dan memelihara fasilitas sekolah secara rutin; penyediaan sistem pelacakan kontak; dan evaluasi secara berkala dua minggu sekali.

Belum Layak Buka

Pembukaan belajar mengajar di kampus  juga memerlukan sejumlah persiapan. Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia, Ubaid Matraji mengatakan, pemeriksaan secara ketat diperlukan sebelum kuliah tatap muka dilakukan.

Ia pun menyoroti banyaknya perguruan tinggi yang belum memiliki sarana dan prasarana yang mendukung penerapan protokol kesehatan. "Sanitasi tidak layak, banyak tenaga kependidikan dan dosen belum divaksin," ujar dia.

Makanya perlu ada observasi dan verifikasi terhadap perguruan tinggi yang akan dibuka. Tenaga pendidik juga harus dipastikan telah divaksinasi.

Selain itu, pendataan terhadap dosen dan mahasiswa diperlukan. "Apakah dia ke kampus pakai transportasi publik, apakah tinggal di zona merah, apakah pernah berinteraksi dengan orang kena Covid-19," katanya.

WISUDA TATAP MUKA DENGAN PROTOKOL KESEHATAN (ANTARA FOTO/Abriawan Abhe/hp.)

Apalagi survei Badan Pusat Statistik (BPS) pada September 2020 menyebutkan hanya 68,2 persen responden berusia 16 sampai 30 tahun yang patuh menjauhi kerumunan agar tak terkena Covid-19. Angka ini di bawah 76 persen di rentang usia 31 sampai 35 tahun, 84,6 persen pada usia 46 sampai 60, dan 88,5 persen pada rentang di atas 60 tahun.

Di sisi lain, Ubaid mengakui pelaksanaan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) berdampak pada penurunan kualitas pendidikan. Ini lantaran  sejumlah mahasiswa sulit mendapatkan timbal balik dan berdiskusi dengan dosennya.

Ubaid menilai, pemerintah semestinya mulai meningkatkan sarana dan prasarana di perguruan tinggi dan akademi, baik negeri maupun swasta. "Dana harus ada dialokasikan untuk penerapan protokol kesehatan di lingkungan kampus dan akademi," kata dia.

Halaman:
Reporter: Rizky Alika