Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat membentuk Panja untuk membahas Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Larangan Minuman Beralkohol. Keputusan tersebut disampaikan usai mereka mendengar poin-poin draf RUU Minol hingga diwarnai perdebatan.
Rapat diawali dengan pembacaan beberapa poin dari tim ahli terkait penyusunan RUU ini. Salah satu pengaturan yang dituangkan dalam beleid itu ialah pembatasan impor minuman alkohol dan tarif cukai.
"Arah yang akan diatur dalam pengaturan minuman alkohol ialah larangan atau pengendalian, pembatasan minuman alkohol impor, dan tarif cukai tinggi," kata Tenaga Ahli Baleg Abdullah Mansyur dalam Rapat Pleno Paparan Tim Ahli Terkait Penyusunan RUU Larangan Minuman Alkohol di Gedung Parlemen, Jakarta, Senin (5/4).
Selain itu, pengaturan minuman alkohol juga mencakup dukungan pengembangan minuman tradisional/lokal untuk ekspor dan kawasan wisata/perdagangan khusus/terbatas. Kemudian, penegakan hukum terhadap produksi, distribusi, dan perdagangan minuman alkohol serta akibat sosialnya.
Seperti diketahui, RUU Larangan Minuman Alkohol masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Selanjutnya, rancangan aturan tersebut disiapkan oleh Baleg.
Adapun, materi muatan pengaturan RUU Larangan Minuman Alkohol meliputi definisi minuman alkohol; jenis, golongan dan kadar minuman alkohol; serta pendirian industri, produksi, perizinan, dan mekanisme produksi minuman alkohol.
Selanjutnya, pembatasan impor minuman alkohol, dukungan pengembangan minol tradisional/lokal, distribusi dan perdagangan minuman alkohol, cukai dan pajak minuman alkohol, dan pengawasan dan penanganan atau dampak yang ditimbulkan oleh minuman alkohol.
Kemudian, pengembangan minuman alkohol untuk industri lain; tugas, kewenangan, dan tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah; larangan dan sanksi; partisipasi masyarakat; ketentuan pidana; dan ketentuan penutup.
Sementara, latar belakang penyusunan beleid itu ialah sebagian besar agama di Indonesia mengharamkan konsumsi minuman beralkohol. Namun, ada beberapa kelompok masyarakat yang mengonsumsi minuman alkohol sebagai budaya, ritual adat, dan kebiasaan turun temurun.
Selain itu, Baleg menilai kesehatan merupakan hak asasi manusia. Oleh sebab itu, negara wajib memberikan pelayanan kesehatan dan melakukan pengaturan untuk melindungi kesehatan masyarakat.
"Setiap warga negara berhak mendapatkan lingkungan kehidupan yang baik dan sehat, sejahtera lahir dan batin, yang merupakan hak asasi yang dijamin pemenuhannya oleh negara untuk melindungi kehidupan segenap bangsa berdasarkan UUD 1945," ujar Abdullah.
Dewan Terbelah
Namun, rapat tersebut juga sempat diwarnai perdebatan anggota dewan. Anggota Baleg dari Fraksi Partai Golkar Nurul Arifin mengaku khawatir larangan minuman alkohol akan berdampak pada penurunan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara.
Padahal, wisman dan pariwisata menjadi salah satu sumber devisa terbesar bagi Indonesia. "Kalau dilarang, mereka lari ke Singapura, Malaysia, atau daerah lain," ujar dia.
Nurul juga telah menerima berbagai keluhan dari pengusaha hotel, restoran, dan kafe di Bali. Oleh karena itu, ia meminta anggota Baleg untuk tidak berpikir secara sempit.
Ia mengusulkan minuman alkohol untuk tidak dilarang, namun dibatasi konsumsinya. Sebab, pada prinsipnya makan dan minum apapun tidak boleh berlebihan. "Jangan persepsi sendiri, kacamata kuda tetapi mengabaikan kepentingan lain," katanya.
Sementara, Anggota Baleg dari Fraksi Gerindra Romo Syafii menilai Indonesia sudah tertinggal dibandingkan negara yang telah melarang konsumsi minuman beralkohol. "Bahkan penduduk yang tidak meyakini agama yakin minuman alkohol memang berdampak negatif," ujar dia.
Romo mengklaim, tidak ada negara yang memperoleh pendapatan cukai lebih tinggi dari biaya pemulihan akibat minuman alkohol. Sementara itu, Indonesia belum memiliki UU yang mengatur konsumsi minuman alkohol.
"Kita merasa risih juga negara yang berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa, mayoritas agamanya mengharamkan alkohol, tapi setelah 75 tahun merdeka belum ada UU yang mengatur," katanya.
Romo juga meminta beleid tersebut harus mengatur pembatasan umur konsumen. Selain itu, ia berharap UU Larangan Minuman Alkohol untuk segera disahkan. "Segera kita tuntaskan agar (DPR) dua periode ini ada legacy yang luar biasa," kata dia.
Sementara, Anggota Baleg dari Fraksi PDI Perjuangan Sturman Panjaitan meminta Romo untuk menyertakan data terkait negara yang melarang konsumsi alkohol.
"Kalau mengutip, please, kapan dan di mana sehingga kita bisa meninjau dulu, studi banding. Negara mana yang tidak minum alkohol?" ujarnya.
Selain itu, Sturman juga meminta penjelasan latar belakang RUU Larangan Minuman Alkohol ditulis secara hati-hati. Menurutnya, tidak sebagian besar agama di Indonesia melarang konsumsi meras.
Oleh sebab itu ua meminta agar beleid tersebut hanya mengatur konsumsi alkohol, bukan melarang. "Semua UU yang dibuat di negeri mana pun, termasuk negeri ini, isinya merupakan pengaturan. Jadi jangan langsung dilarang," katanya.
Sebelumnya, pengusaha restoran dan kafe mengatakan aturan tersebut akan berdampak pada penurunan omzet. Hal ini lantaran makanan dan minuman memberikan kontribusi yang besar bagi pendapatan hotel dan restoran.
Dampak tersebut diperkirakan akan terjadi terutama di wilayah seperti Bali dan Jakarta. "Kalau belum clear lebih baik dikaji ulang, dilihat kembali apa tujuannya," kata Ketua Bidang Legal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bambang Britono November lalu.
Berdasarkan data PHRI yang dikutip dari Heineken pada tahun 2014, Indonesia merupakan konsumen bir terendah di kawasan Asia Pasifik. Konsumsi bir di Indonesia tercatat 1,1 liter per kapita atau di bawah Myanmar sebanyak 3 liter bir per kapita.
Sedangkan dari data organisasi kesehatan dunia (WHO), konsumsi minuman beralkohol per kapita di RI hanya 0,8 liter pada 2016 lalu. Angka ini berada di bawah rata-rata Malaysia yakni 0,9 liter per kapita, Singapura 2 liter per kapita, Filipina 6,6 liter per kapita, dan Thailand yakni 8,3 liter per kapita.