Startup medis Amerika Serikat (AS) AIVITA Biomedical Inc mendapat sorotan lantaran berperan aktif dalam pengembangan Vaksin Nusantara. Sebagaimana diketahui, Vaksin Nusantara yang di Indonesia diperkenalkan oleh dr Terawan, menggunakan metode sel dendritik yang dikembangkan oleh AIVITA.
Metode sel dendritik biasanya digunakan untuk pengobatan pasien kanker otak. Namun oleh AIVITA, metode ini dikembangkan untuk menjadi calon vaksin Covid-19, Vaksin Nusantara.
Peran dominan AIVITA dalam pengembangan Vaksin Nusantara kini mengundang tanya. Sebab, jika metode, teknologi, hingga penelitinya ternyata lebih banyak impor, hal tersebut dapat mematahkan klaim Vaksin Nusantara sebagai karya anak bangsa.
Profil AIVITA Biomedical Inc.
Dikutip dari situs resmi AIVITA Biomedical Inc, sponsor vaksin Nusantara itu baru berdiri pada 2016. AIVITA Bio dipimpin oleh ilmuwan yang mengedepankan metode sel punca, Prof. dr. Hans Keirstead PhD.
"AIVITA dalah perusahaan bioteknologi yang mengembangkan pengobatan kanker dan vaksin berbasis personalisasi untuk pencegahan Covid-19,” demikian dikutip dari laman tersebut, Minggu (18/4).
AIVITA mengambil pendekatan pan-antigenik yang unik untuk pengembangan vaksin kanker. Teknologi ini diklaim memungkinkan untuk mengatasi kecenderungan kanker yang bermutasi dari waktu ke waktu.
Memanfaatkan platform terapi sel autologous, AIVITA telah menghasilkan beberapa program vaksin terapeutik yang terbukti aman dan efektif dalam uji klinis awal. “Kami kini mengembangkan vaksin yang dipersonalisasi untuk dengan kekebalan adaptif terhadap COVID-19," demikian tertulis dalam pernyataan tersebut.
Uji klinis metode terapeutik AIVITA terhadap pasien kanker diklaim telah menunjukkan potensi dalam memberantas tumor ovarium, glioblastoma, dan melanoma tanpa efek samping berbahaya.
"Vaksin khusus untuk Covid-19 kami saat ini sedang dievaluasi dalam studi klinis di Indonesia, bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan Indonesia dan sedang dipersiapkan untuk potensi investigasi klinis di Amerika Serikat.”
Sebagai startup yang baru berumur lima tahun dan gencar melakukan penelitian, AIVITA terus menggalang pendanaan. Sejauh ini, AIVITA tercatat telah lima kali mendapat suntikan modal dari berbagai pihak.
Setoran dana pertama dalam bentuk grant senilai US$ 22 juta pada September 2016. Kemudian, pada Maret 2018, AIVITA mendapat modal Seri A senilai US$ 5,5 juta. Masih pada tahun yang sama, pada Juni AIVITA mendapat pendanaan Seri B dan grant pada bulan Juli dalam jumlah yang dirahasiakan. Terakhir, pada Desember 2019, AIVITA mengantongi pendanaan Seri B2 senilai US$ 25 juta atau sekitar Rp 363 miliar.
Sejauh ini, ada lima institusi yang menyetor modal ke AIVITA. Dua di antaranya adalah institusi pemerintah AS, yakni National Institute of Health dan California Institute for Regenerative Medicine. Kemudian, ada Leonhardt's Launchpads by Cal-X Stars Business Accelerator, California Technology Ventures dan SFC Company.
Perkenalan AIVITA dan Terawan
Kerja sama AIVITA dan Terawan bermula dari perjanjian yang diteken pada 22 Oktober 2020. Terawan yang saat itu masih menjabat sebagai Menteri Kesehatan menyaksikan penandatanganan kerja sama antara Balitbangkes dan PT Rama Emerald Multi Sukses.
Dalam riset itu, PT Rama Emerald Multi Sukses menggandeng AIVITA yang berpengalaman mengembangkan pengobatan sel dendritik. Dalam kerja sama ini, Universitas Diponegoro (Undip) dan RSUP Dr Kariadi menyediakan sarana pengembangan vaksin.
Pada 16 Februari 2021 atau 2 bulan setelah tidak lagi menjabat sebagai Menteri Kesehatan, Terawan muncul sebagai pemrakarsa Vaksin Nusantara. Sejumlah anggota DPR Komisi IX memenuhi undangan untuk mendengarkan pemaparan hasil uji klinik tahap I Vaksin Nusantara di RSPU Dr Kariadi, Semarang.
Di antara para anggota Dewan menyambut baik hasil uji klinis Vaksin Nusantara dan bahkan bersedia menjadi relawan pada uji klinis tahap II.
Dominasi Asing
Dalam perkembangannya, peran AIVITA dalam pengembangan vaksin Nusantara kini dinilai terlalu mendominasi. Sejumlah peneliti dari Universitas Diponegoro dan Universitas Gadjah Mada bahkan mengundurkan diri dari uji klinis ini karena merasa kurang dilibatkan.
Di pihak lain, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan syarat uji klinik fase I vaksin Nusantara tidak terpenuhi dan tak merekomendasikannya untuk dilanjutkan ke tahap II.
"Di dalam menjelaskan proses pembuatan vaksin dendritik, terlihat kelemahan-kelemahan dalam penjaminan mutu dan keamanan pada pembuatan produk uji yang menurut pengakuan tim peneliti memang tidak dilakukan dan akan diupayakan untuk perbaikan," tulis hasil inspeksi BPOM yang dikutip.
Dalam laporan tersebut juga tertulis bahwa semua pertanyaan BPOM dijawab oleh peneliti dari AIVITA Biomedica Inc, USA yang namanya tidak tercantum dalam protokol penelitian. Sedangkan, peneliti utama: Dr. Djoko (RSPAD Gatot Subroto) dan dr. Karyana (Balitbangkes) tidak dapat menjawab proses-proses yang berjalan karena tidak mengikuti jalannya penelitian.
Selanjutnya, proses pembuatan vaksin sel dendritik dilakukan oleh peneliti dari AIVITA. Meski tim ini melakukan training kepada staf di Rumah Sakit Dr Kariadi, pelaksanaannya tetap dilakukan oleh tim dari AIVITA.
Selain itu, ada beberapa komponen tambahan dalam sediaan vaksin yang tidak diketahui isinya dan tim dari Rumah Sakit Dr Kariadi bahkan tidak paham mengenai hal itu. BPOM juga menemukan bahwa sejumlah aspek manufaktur termasuk juga antigen yang dikirim dari AS.