Revisi UU ITE Tak Sentuh Sejumlah Pasal Karet

ANTARA FOTO/Abriawan Abhe/wsj.
Menkopolhukam Mahfud MD di Gereja Katedral, Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat (23/4/2021). Mahfud mengatakan tak akan mencabut UU ITE.
29/4/2021, 19.25 WIB

Pemerintah memastikan tak akan mencabut Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) lantaran masih diperlukan dalam dunia digital. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan aturan tersebut hanya akan direvisi secara terbatas.

Hal tersebut disampaikan Mahfud ketika membacakan keputusan dari rapat pembahasan UU tersebut. Penambahan hanya terjadi pada Pasal 45 huruf C aturan tersebut. Ini berarti mayoritas pasal-pasal yang dianggap karet oleh pengamat dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tak direvisi.

Meski demikian, Mahfud membuka kemungkinan mempertajam penjelasan dari aturan lain, “Ada revisi semantik, sangat kecil. Penambahan atau perubahan frasa,” kata Mahfud dalam keterangan pers, Kamis (29/4).

Revisi ini hanya akan menambahkan penjelasan agar aturan ini tak diterjemahkan secara karet. Selain membawa revisi ini ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pemerintah juga akan menyiapkan semacam pedoman teknis UU ITE.

Nantinya Kementerian Komunikasi dan Informatika, Polri, dan Kejaksaan Agung akan membuat pedoman implementasinya. “Bentuknya pedoman, mungin seperti buku saku,” kata Mahfud.

Mahfud sebelumnya telah membentuk tim pengkaji UU ITE yang bekerja selama tiga bulan hingga Mei mendatang. Tim tersebut meminta penjelasan berbagai pihak, seperti akademisi, awak media, pegiat demokrasi, serta korban dan pelapor UU ITE. Adapun, revisi bisa dilakukan dengan berbagai opsi, seperti menambah kalimat atau penjelasan, menambah norma baru, atau mencabut aturan.

Sebelumnya Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi dari Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Ika Ningtyas mengatakan setidaknya ada sembilan pasal dalam UU ITE yang dianggap berbahaya dan layak diubah. 

Sembilan pasal tersebut yaitu pasal 26 ayat 3, 27 ayat 1, 27 ayat 3, 28 ayat 2, 29, 36, 40 ayat 2a, 40 ayat 2b, dan 45 ayat 3. "Pasal-pasal itu kami anggap bermasalah karena secara substansial definisi dan kriterianya tidak jelas sehingga sangat multitafsir," ujarnya kepada Katadata.co.id, Selasa (16/2).

Lalu pasal 27 ayat 3 tentang defamasi. Ika mengatakan pasal ini paling sering digunakan untuk menjerat kebebasan berekspresi yang sah dan merepresi warga, aktivis, jurnalis atau media.

Kemudian pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian karena bisa merepresi minoritas warga yang mengkritik aparat kepolisian dan pemerintah. Ika mengatakan pasal ini sering digunakan untuk menjerat kebebasan berekspresi dan karya jurnalistik.

Ada juga pasal 29 tentang ancaman kekerasan karena bisa memidana orang yang mau melapor ke polisi. Pasal 36 tentang kerugian bermasalah karena dicuplik untuk memperberat hukuman pidana defamasi. Pasal 40 ayat 2a tentang muatan yang dilarang dianggap bermasalah karena bisa menjadi dalih pemblokiran akses internet untuk menanggulangi penyebaran hoaks. 

Sementara, Pengamat Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan, pasal-pasal yang perlu diutamakan untuk direvisi ialah Pasal 27, Pasal 28, Pasal 36, dan Pasal 40. Untuk Pasal 27, ia menilai ketentuan itu membuka ruang tafsir yang sangat luas dan eksesif.

"Semua ujaran bisa masuk sana. Tidak bisa dibedakan lagi mana pencemaran nama baik, mana kritik," ujarnya. Hal ini membuat sejumlah orang tidak berani untuk mengutarakan kritiknya melalui media sosial atau media massa.