Kejagung Tahan Eks Dirut Antam dan 3 Tersangka Korupsi Izin Tambang

Arief Kamaludin|KATADATA
Logo Antam
Penulis: Desy Setyowati
3/6/2021, 06.51 WIB

Kejaksaan Agung (Kejagung) menahan empat dari enam tersangka perkara dugaan tindak pidana korupsi penyimpangan dalam proses pengalihan izin usaha pertambangan (IUP) batu bara di Kabupaten Sarolangun, Jambi, dari anak usaha Antam. Salah satu dari empat yang ditahan yakni mantan Direktur Utama (Dirut) Antam periode 2008-2013 berinisial AL.

Sedangkan tiga tersangka lainnya yakni Direktur Operasional Antam HW, mantan Dirut Indonesia Coal Resources (ICR) periode 2008-2014 BM, dan komisaris PT Tamarona Mas Internasional periode 2009-sekarang MH. ICR merupakan anak usaha Antam.

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak mengatakan, tim penyidik menetapkan untuk dilakukan penahanan terhadap para tersangka selama 20 hari pada 2 - 21 Juni. “Tiga orang ditempatkan di Rutan Salemba cabang Kejagung, dan satu orang di Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan," kata dia dikutip dari Antara, Rabu malam (2/6).

Dua tersangka kasus dugaan korupsi pembelian IUP Batubara di Kabupaten Sarolangun, Jambi, dibawa ke Rutan Salemba, Jakarta, Rabu malam (2/6/2021) (ANTARA/Laily Rahmawaty)

Sebelum menahan, tim penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) terlebih dahulu melakukan pemeriksaan terhadap enam orang. Empat di antaranya tersangka dan dua orang sebagai saksi.

Dua orang saksi yang diperiksa yakni BT selaku karyawan Antam dan senior manajer legal Antam 2007-2019 berinisial DM.

Keenam orang tersebut diperiksa terkait mekanisme atau Standard Operating Procedure (SOP) akuisisi Citra Tobindo Sukses Perkasa (CTSP) oleh ICR.

Leonard menjelaskan, penyidik menetapkan enam tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi itu. "Hari ini yang hadir empat orang tersangka. Dua orang tidak hadir," ujar dia.

Dua tersangka yang tidak hadir yakni AT selaku Direktur Operasional ICR, dan MT pihak penjual saham atau direktur CTSP.

Salah satu tersangka beralasan sakit. “Yang satunya belum ada keterangan. Pemeriksaan kepada yang bersangkutan akan dilanjutkan pada minggu depan," kata Leonard.

Dalam perkara tersebut, perjanjian jual beli saham terjadi pada 12 Januari 2011. Tersangka MH mendapat pembayaran Rp 35 miliar dan MT memperoleh Rp 56,5 miliar.

Sebelumnya, tersangka BM melakukan pertemuan dengan MT selaku penjual atau kontraktor batu bara pada 10 November 2010. Keduanya telah menentukan harga pembelian yaitu Rp 92,5 miliar, meski belum dilakukan due dilligence.

Lalu pada 19 November 2010, ICR, CTSP, dan RGSR menggelar nota kesepahaman atau MoU di Jakarta. Ini dalam rangka akuisisi saham CTSP yang memiliki IUP dengan luas lahan 400 hektare di Kabupaten Sarolangun, Jambi.

Tersangka BM dan ATY tidak pernah menunjukkan IUP asli atas lahan tambang batu bara yang menjadi objek akuisisi.

Perbuatan tersangka BM bersama dengan ATY, HW, MH dan MT, serta saksi AA tersebut merugikan keuangan negara Rp 92,5 miliar. Ini berdasarkan hasil audit Kantor Akuntan Publik (KAP) Pupung Heru.

Keenam tersangka dikenakan pasal primair Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Subsidair Pasal 3 jo. Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Reporter: Antara