Bahaya Multitafsir Pasal Penghinaan Presiden dalam RUU KUHP

ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Sejumlah mahasiswa menggelar aksi unjuk rasa menolak RUU KPK dan RUU KUHP di sekitaran Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (1/10/2019).
10/6/2021, 20.36 WIB

Selain itu, ia mengatakan perlu perbaikan mental para aparatur negara guna mencegah penyalahgunaan aturan. Hal ini untuk mencegah penggunaan pasal penghinaan presiden sebagai alat untuk membungkam kritik.

Oleh karenanya, para aparat harus bisa membedakan bentuk penghinaan maupun kritik kepada presiden. "Karena sekarang itu eranya penyidik, penuntut, hakim, semuanya sama-sama terkontaminasi politik," ujar dia.

Sementara, Pengamat politik dari Lingkar Madani Indonesia (LIMA Indonesia) Ray Rangkuti menyoroti nihilnya penjelasan yang kuat tentang definisi kehormatan, harkat, dan martabat presiden/wakil presiden.

"Dalam pasal yang kabur seperti ini justru akan berpotensi melahirkan kesewenang-wenangan," ujar dia.

Selain itu, ia tidak melihat perbedaan yang jelas antara penghinaan dan penyerangan atas harkat martabat presiden/wakil presiden. Oleh karena itu, pihaknya menolak pasal penghinaan presiden lantaran aturan tersebut membuat cakupan yang terlalu luas dan definisi yang kabur.

Sementara, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, Presiden Joko Widodo lepas tangan terkait pasal penghinaan presiden dalam RUU KUHP.

"Bagi Pak Jokowi sebagai pribadi, (pasal penghinaan) masuk atau tidak (KUHP) sama saja. Sering dihina juga tak pernah mengadu/memperkarakan," kata Mahfud seperti dikutip dari kicauannya pada akun @mohmahfudmd.

Halaman:
Reporter: Rizky Alika