Mahkamah Agung (MA) memutuskan untuk melepaskan mantan Direktur Utama PT PLN (Persero) Nur Pamudji dari hukuman tujuh tahun penjara. Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro mengatakan, MA mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan Nur Pamudji karena menilai perkara tersebut bukan tindakan pidana.
"MA dalam pemeriksaan tingkat kasasi mengabulkan permohonan kasasi terdakwa dan membatalkan putusan judex facti dengan mengadili sendiri," kata Andi kepada Katadata.co.id, Senin (19/7).
Andi menjelaskan MA menyatakan perbuatan yang didakwakan terhadap Nur Pamudji memang terbukti di pengadilan. Namun, MA menilai perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana sehingga melepaskan Nur Pamudji dari tuntutan hukum.
Putusan kasasi ini dijatuhkan pada Senin (12/7) oleh majelis hakim yang terdiri dari Suhadi sebagai ketua majelis serta beranggotakan Krisna Harahap dan Abdul Latif.
Putusan pengadilan kasasi ini menindaklanjuti putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Selatan. Pada 4 November 2020 pengadilan tingkat banding memperberat hukuman Nur dari enam tahun menjadi tujuh tahun penjara.
Kasus ini bermula dari PLN yang mengadakan lelang pengadaan BBM jenis High Speed Diesel (HSD) untuk Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Tambak Lorok dan Belawan pada 2010.
Nur yang ketika itu menjabat Direktur Energi Primer PLN menjalankan keputusan direksi PLN untuk menghemat biaya pengadaan BBM solar lewat tender sesuai dengan Permintaan Panitia Anggaran DPR pada tahun 2007 dan 2008.
Dari lima tender yang diadakan, dua dimenangkan oleh PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI), yakni untuk pembangkit Tambak Lorok (Semarang) dan Belawan (Medan). Sedangkan tiga lainnya dimenangkan oleh Pertamina, yakni Muara Tawar (Bekasi), Grati dan Gresik (Jatim), serta Muara Karang dan Tanjung Priok (Jakarta).
Belakangan, tender ini dianggap merugikan negara karena TPPI tak bisa memenuhi komitmen pasokannya secara penuh selama empat tahun. BPK bahkan menyatakan telah terjadi kerugian negara Rp 188,7 miliar.
Nur lalu ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian pada tahun 2015. Ia disangkakan Pasal 2 ayat 1 dan atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.