Kronologi Perkara yang Menjerat Nur Pamudji hingga Bebas dari Bui

ANTARA FOTO/Moch Asim
Pekerja beraktivitas di kawasan kilang PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) di Tuban, Jawa Timur, Sabtu (21/12/2019).
Penulis: Maesaroh
Editor: Yuliawati
19/7/2021, 20.25 WIB

Namun, pada 7 Desember 2010, setelah bertemu dengan Vitol di Singapura, hasil due diligence menyimpulkan bahwa pasokan kondensat dari Vitol cukup  untuk kebutuhan empat tahun. Pasokan yang tersedia setara 3,1 juta kiloliter BBM, jauh di atas kebutuhannya yang sekitar 2 juta kl.

Berdasarkan alasan itulah, PLN kemudian melakukan Perjanjian Jual Beli Bahan Bakar Minyak HSD dengan TPPI. Perjanjian tersebut ditandatangani oleh Direktur Utama PLN pada 10 Desember 2010.

Masalah timbul pada April 2012 karena TPPI tidak bisa mengirim pasokan kedua. Padahal, sepanjang 2011 hingga April 2012, pasokan TPPI ke PLTGU Belawan (Medan) dan PLTGU Tambak Lorok (Semarang) berjalan lancar.

PLN kemudian mengirimkan surat peringatan pertama dan kedua sampai akhirnya pada 30 April 2012. TPPI merespons dengan menyatakan ketidaksanggupannya mengirim BBM ke PLTGU Belawan seperti yang tertera di kontrak. Pada 3 Mei 2012, TPPI juga menyatakan tidak sanggup memberi pasokan kepada PLTGU Tambak Lorok.

PLN kemudian mencairkan uang jaminan pelaksanaan kepada TPPI sebesar Rp 30 miliar untuk kontrak di PLTGU Belawan dan 30 miliar untuk PLTGU Tambak Lorok.

Persoalan ini mencuat setelah munculnya perbedaan pendapat antara Auditor BPK-RI 2014 dengan Direksi PLN tentang besar Jaminan Pelaksanaan Kontrak.

BPK berpendapat bahwa nilai Jaminan Pelaksanaan adalah 5% kali Nilai Kontrak selama masa kontrak yaitu 36 bulan (Rp 450 miliar). Angka tersebut jauh di atas yang ditetapkan oleh direksi PLN pada tender yakni 5% kali Nilai Kontrak selama 4 bulan (Rp 50 miliar).

Dugaan BPK ini bertentangan dengan audit mereka sebelumnya. Pada 2011, BPK sudah mengaudit proyek tender tersebut dan menyatakan bahwa tender tersebut telah sesuai dengan aturan yang berlaku di PLN dan merupakan aksi korporasi.

Namun, pada 2015, kepolisian menetapkan Nur Pamudji sebagai tersangka dalam pengadaan BBM HSD oleh TPPI. Polisi berkesimpulan Nur bersalah dalam proses tender yang memenangkan TPPI.

BPK juga mengaudit kasus ini lewat Audit Investigasi BPK pada akhir 2014. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Bareskrim Polri juga menyelidiki pemberian right-to-match kepada produsen dalam negeri.

Pada 26 Juni 2019, polisi menahan Nur Pamudji sebagai tersangka dalam pengadaan BBM HSD oleh TPPI yang merugikan negara sebesar Rp 188,8 miliar. Nur ditangkap  dengan barang bukti uang tunai Rp 173 miliar.

Pada Juli 2020, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) memvonis Nur Pamudji dengan enam tahun penjara dan denda Rp 200 juta. Namun, pada November 2020, Pengadilan Tinggi Jakarta Selatan justru memperberat hukuman Nur dari enam tahun menjadi tujuh tahun penjara. Tidak terima hukumannya diperberat, Nur Pamudji kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

Majelis hakim yang terdiri dari Suhadi sebagai ketua majelis dengan anggota Krisna Harahap dan Abdul Latif, memutuskan perkara kasasi pada  Senin (12/7). MA  mengabulkan kasasi Nur Pamudji dan membebaskan dari hukuman penjara.

Halaman:
Reporter: Maesaroh