Kebutuhan Tinggi, RI Perlu Impor Obat Covid-19 dari Banyak Negara

ANTARA FOTO/Adwit B Pramono
Apoteker memperlihatkan salah satu obat COVID-19 di salah satu apotek di Manado, Sulawesi Utara, Minggu (25/7/2021)
Penulis: Maesaroh
3/8/2021, 20.47 WIB

Juru Bicara Vaksinasi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi berharap pemerintah bisa memperkuat diplomasi dengan negara lain terkait pasokan obat terapi Covid-19. Pasalnya, Indonesia membutuhkan banyak negara sebagai  alternatif pemasok obat di luar yang selama ini ada.

Siti Nadia mencontohkan bahwa Iran bisa dijadikan alternatif pemasok obat Covid-19 karena negara tersebut memiliki stok obat yang cukup. Selama ini, Indonesia sangat menggantungkan pasokan obat dan bahan bakunya ke beberapa negara seperti India dan Amerika Serikat.

“Kita perlu mendorong mekanisme lain untuk menambahkan tambahan supply dari China, Bangladesh, Mesir, dan juga Turki,” kata Siti Nadia Tarmizi, pada Webinar Keterbukaan Informasi Publik yang diselenggarakan Kementerian Keuangan, Selasa (3/9).

Dia menambahkan jenis obat Covid-19 yang stoknya terbatas namun kebutuhannya terus meningkat adalah Remdesivir, Tocilizumab, dan IVIg. Ketiga jenis obat tersebut hanya bisa diperoleh melalui impor.

 “Ketiga obat tersebut harus impor. Fokus kita adalah bagaimana mendapatkan tiga jenis obat ini, karena jenis obat ini jauh lebih sulit mendapatkannya,” papar Siti Nadia.

Dia menjelaskan obat terapi Covid-19 lain seperti Ivermectin, Favipiravir, Oseltamivir, dan Azithromycin itu diproduksi di dalam negeri. Namun, bahan baku obat-obat tersebut tetap harus impor.  Ketergantungan industri farmasi Indonesia kepada bahan baku impor memang masih sangat tinggi  yakni sekitar 90%.

Siti Nadia mengatakan kebutuhan obat sempat meningkat signifikan seiring melonjaknya kasus positif Covid-19 pada Juli lalu. Meski kasus mulai melandai dan kebutuhan obat sudah menurun, Kemenkes berharap tambahan pasokan obat dari negara-negara lain tetap terjaga.

“Peningkatan kebutuhan obat pada pertengahan Juli sampai 12 kali lipat daripada biasanya,” ucap Siti Nadia.

Siti memaparkan, ketika terjadi lonjakan kasus maka otomatis permintaan obat meningkat. Ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan membuat kebutuhan tersebut tidak segera dipenuhi. Menurutnya, ketidakseimbangan itu disebabkan oleh dua hal. Pertama, para produsen obat membatasi ekspor karena mereka pun membutuhkan obat itu untuk kebutuhan dalam negeri. Kedua, jumlah pemasok obat memang terbatas dan perusahaan farmasi global tidak banyak.

“Perusahaan farmasi global yang sudah mendapat izin edar di Indonesia baru satu. Kita perlu mendorong upaya penyediaan penambahan stok obat dari jalur lain,” tutur Siti Nadia.

Siti Nadia menambahkan jalur yang bisa ditempuh untuk menambah pasokan obat adalah mendorong mekanisme special access scheme (SAS). SAS merupakan jalur khusus distribusi obat yang belum mendapatkan izin edar namun ketersediaannya mendesak untuk dimiliki.

Sebagai informasi, Kemenkes menyediakan platform Farmaplus untuk melihat ketersediaan obat Covid-19 di jejaring apotek. Masyarakat bisa mengaksesnya apabila hendak mengetahui stok obat Covid-19 yang tersedia di sejumlah apotek.

Penyumbang bahan: Akbar Malik Adi Nugraha