Isu kesehatan mental semakin menjadi perhatian seiring meningkatnya fenomena burnout atau stres. Franchise kedai kopi kekinian KULO turut ambil bagian dalam menaruh kepedulian terhadap salah satu isu sosial satu ini. Salah satunya, dengan mengeluarkan inovasi baru dalam membantu menekan isu kesehatan mental.
“KULO begitu prihatin dengan maraknya fenomena burnout atau stres yang sering dialami oleh masyarakat. Kampanye kemasan spesial dan terbatas pada kopi kami yang dibalut bubble wrap, kemudian dibagikan gratis bagi mereka yang membeli produk KULO," ujar pendiri kopi KULO, Clement Mathias dalam keterangan resminya, Rabu (13/10)
Stres salah satunya diakibatkan oleh pekerjaan. Hal tersebut dapat menyebabkan insomnia, kecemasan, kesulitan berkonsentrasi hingga menurunnya imun ini. Mengacu pada kondisi tersebut, kopi KULO meluncurkan kampanye #KuloCANstaysane.
Inisiasi tersebut direalisasikan dengan meluncurkan kemasan spesial berbalut bubble wrap. Tujuan dari inovasi tersebut, agar konsumen bisa mengurangi rasa burnout mereka sambil mengonsumsi Es Kopi Kulo dan memainkan bubble wrap tersebut.
Pelindung bubble wrap yang dipilih sebagai bentuk gagasan rupanya bukan tanpa alasan, dilansir dalam studi di laman daring Drhealthbenefits.com, Sealed Air Corporation, bermain bubble wrap selama satu menit dapat menurunkan tingkat stres sebanyak 33%. Tak hanya itu, beberapa hasil jurnal hasil penelitian menyebutkan, bubble wrap bermanfaat bagi kesehatan khususnya dalam hal psikiatri.
Luddy G. Prayogi, inisiator sekaligus Chief Creative Officer KAVA, agensi kreatif KULO menjelaskan, inovasi tersebut diluncurkan bertepatan dengan Hari Kesehatan Mental Sedunia. Dalam hal ini, pihaknya ingin beraksi membantu masyarakat untuk bisa melepas penat sejenak penat dengan cara mudah di dapat, dekat, dan menyenangkan seperti bubble wrap pada kemasan kopi KULO.
“Kami yang bergerak di bidang kreatif bersinggungan sekali dengan burnout ini. Pekerjaan yang kami lakukan memang sangat menyenangkan, namun tingkat stresnya juga terkadang tinggi,” kata Luddy.
Riset Kesehatan Dasar 2018 dari Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI menunjukkan gangguan depresi, menjadi salah satu jenis gangguan jiwa, yang bisa dialami semua kelompok usia.
Berdasarkan riset tersebut, sekitar 6,2% populasi untuk rentang kelompok usia 14-24 tahun mengalami gangguan depresi. Semakin tua, gangguan depresi meningkat. Pada kelompok usia 75 tahun ke atas mencapai 8,9% populasi mengalami depresi, usia 65-75 sebesar 8%, dan usia 55-64 sebesar 6,5%.
Sementara itu, dalam riset yang dilakukan Dosen Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran, Melisa I Barliana mengatakan 74,4% subjek kuesioner yang dia teliti mengalami keadaan stres (ringan, sedang dan berat). Di mana, subjek usia 18 tahun justru menunjukkan kejadian stres yang cukup tinggi atau 74%.
Dilansir dari The Conversation, Melisa menjelaskan respons terhadap rangsangan stres dapat dipengaruhi berbagai hal, mulai dari pengaruh lingkungan, kecenderungan genetik, serta mekanisme epigenetik.
Epigenetik merupakan studi yang mempelajari perubahan karakter individu. Ini disebabkan adanya modifikasi selain perubahan genetik, misalnya modifikasi molekul asam nukleat, protein histon yang mengemas DNA. Hal tersebut dapat memengaruhi jumlah protein yang dihasilkan.
“Riset saya menjadi relevan karena tingginya angka gangguan jiwa di Indonesia,” katanya.
Adapun riset pertama ini merupakan riset eksperimental dengan melibatkan 129 subjek sehat di Bandung pada 2017. Usia subjek di atas 18 tahun, tanpa riwayat gangguan jiwa, tidak sedang dalam pengobatan antipsikotik atau antidepresan, dan tidak sedang menjalani terapi psikologi.
Meskipun data riset berasal dari populasi yang sedikit, Melisa menjelaskan bahwa riset sudah terlihat bahwa kejadian variasi genetik cukup signifikan mempengaruhi kerentanan seseorang terhadap stres. Dengan demikian, laporan kejadian gangguan jiwa di Indonesia yang cukup tinggi memang berbasis kejadian variasi genetik.